Hukum Shalat Jamaah dan Maksud Shalat Jamaah

Bagaimana sih hukum shalat jamaah itu? Benarkah hukum shalat jamaah adalah sunnah muakkad? Atau bahkan hukumnya adalah fardhu kifayah?

Dalam artikel kali ini dibahas bagaimana hukum shalat jamaah menurut berbagai madzhab dan mana hukum yang saya dan guru saya yakini. Namun yang perlu ditekankan adalah perbedaan yang ada diantara semua madzhab tersebut tidak menunjukkan mana yang paling benar dan mana yang salah ya.

Karena semua punya dasar masing-masing, semua punya rujukan dimana mengandung ijtihad yang oleh Allah diperbolehkan.

Hukum Shalat Jamaah dan Maksud Shalat Jamaah Itu Sendiri

Berkata Al Imam An-Nawawi rahimahullahu ta’ala dalam kitab Al-Majmu’ Syarah Al Muhadzab, bahwa pendapat-pendapat para ulama tentang hukum shalat berjamaah dalam shalat lima waktu adalah :

  1. “Kami telah menyebutkan bahwa pendapat kami yang benar adalah hukumnya fardhu kifayah,” dan ini adalah pendapay sebagian ulama.
  2. Berkata Atho’, Al-Auzaa’i, Imam Ahmad, Abu Tsaur dan Ibnul Mundzir hukum shalat jamaah adalah fardhu ‘ain. Namun bukan termasuk ke dalam syarat sahnya shalat.
  3. Berkata Dawud (Ad-Dhohiri) hukum shalat jamaah adalah fardhu ‘ain sekaligus syarat sahnya shalat, dan ini juga pendapat sebagian ulama Hambali.
  4. Jumhur ulama’ berpendapat hukumnya bukan fardhu ‘ain dan mereka berbeda pendapat. Apakah fardhu kifayah atau sunnah?
  5. Berkata Al-Qadhiy  ‘Iyad bahwa : kebanyakan ulama berpendapat hukumnya adalah sunnah muakkadah. Bukan fardhu kifayah.

Lalu untuk Imam An-Nawawi sendiri cenderung berpendapat hukum shalat berjamaah adalah fardhu kifayah.

Pendapat Imam An-Nawawi didasarkan pada sebuah hadits yang menceritakan tentang ancaman Nabi membakar rumah orang-orang yang enggan shalat berjamaah di masjid. Namun jika didudukkan dengan hadist tentang seorang Idban bin Malik radhiallahu anhu yang matanya buta dan Nabi mengizinkannya untuk shalat di rumahnya, maka ini menjadi persoalan lain.

Oleh karena itu beberapa ulama menjelaskan dengan sudut pandang yang lain dengan mendudukkan dua hadits tersebut di atas. Hingga dicapailah satu kesimpulan bahwa : Kalau kamu ingin mendapat pahala shalat jamaah, maka shalatlah di masjid. Namun jika tidak ingin, shalat di rumah sendirian pun sah dan tidak mengapa. Hanya saja kita tidak akan mendapatkan keutamaan shalat jamaah di masjid.

Lalu disebutkan pula dalam Kitab Kifayatul Akhyar bahwa :

Berkata Al Imam Taqiyuddin Abu Bakar bin Muhammad Al-Hishni Al Husaini As-Syafi’i dalam kitab Kifayatul Akhyar (Syarah Matan Abi Sujak) disebutkan bahwa :

Dan ketahuilah bahwa hukum salat berjamaah sudah didapatkan dengan salatnya seorang suami di rumahnya bersama istrinya dan yang lainnya. Akan tetapi di masjid lebih afdhal.

Oleh karena itulah guru saya dan juga saya mengambil pendapat bahwa shalat jamaah di masjid hukumnya sunnah muakkadah.

Apa itu sunnah muakkadah? Yakni shalat yang selalu dikerjakan Rasulullah dan jarang ditinggalkannya. Shalat ini dianjurkan Rasulullah sehingga Rasulullah sendiri berat untuk meninggalkannya.

Oleh karena itulah belajar agama itu perlu guru. Karena kita harus paham pendapat yang kita ambil ini berdasarkan pendapat siapa? Karena seorang ulama, Sufyan Al Uyainah, pernah berkata bahwa : Hadits itu menyesatkan, kecuali untuk para fuqaha’. 

Fuqaha’ sendiri adalah orang-orang yang paham (ulama yang memahami persoalan agama). Karena sebagaimana kita ketahui bahwa hadits itu serupa Quran yang memiliki arti umum dan juga khusus. Oleh karena itulah kita perlu penjelasan seorang guru.

Jadi jelas ya teman-teman, saya mengikuti ulama yang berpendapat bahwa maksud dari shalat jamaah itu sendiri adalah shalat yang dilakukan bersama-sama, tapi tidak harus di masjid. Kita tetap mendapatkan pahala shalat jamaah meskipun dilakukan di rumah. Namun, jika shalat jamaahnya dilakukan di masjid, kita pun mendapatkan dua keutamaan. Yakni keutamaan shalat jamaah dan juga shalat di masjid.

Semoga setelah ini tidak ada yang menyalahkan pendapat yang lain, dan saling menghormati pendapat orang lain. Ilmu Allah itu luas bagai lautan yang tak bertepi. Mungkin saja pendapat orang lain yang tidak pernah kita tahu itu bisa jadi ada benarnya. Hanya karena kita belum tahu, belum tentu pendapat orang lain itu salah bukan?

Semoga artikel ini bermanfaat ya!

 

Artikel ini disarikan dari Mulazamah bersama Ustadz Abdullah Al Hadrami dalam kajian rutin pembahasan Fiqh pada 20 Agustus 2022.

 

 

Leave a Comment

error

Enjoy this blog? Please spread the word :)