Satu tahun yang lalu saya menulis tentang bagaimana menerima perasaan anak dan memahaminya. Satu tahun yang lalu, usia Isya masih belum genap 3 tahun. Ketika saya membaca tulisan itu kembali, saya meringis.
Ternyata apa yang saya tuliskan satu tahun lalu, tidak cukup efektif diterapkan dengan kondisi Isya saat ini, ketika ia mulai bisa bersosialisasi dengan teman-temannya, ketika umurnya Januari 2023 tahun depan sudah 4 tahun. Hari ini, tahun ini, ternyata tingkah Isya sudah mulai bikin saya was-was.
Bukan was-was karena membahayakan (saya tahu betul Isya ini anaknya super hati-hati, waspada dan tidak mudah beradaptasi dengan lingkungan sekitarnya), namun was-was karena saya takut tidak bisa mengatasinya. Saya takut tidak bisa lagi mengelola emosi dengan baik hingga akhirnya berdampak pada Isya. Oleh karena itu dalam artikel ini saya mencoba merefleksikan kembali, mulai mencoba belajar kembali untuk menerima perasaan anak dan berusaha untuk memahaminya.
Belajar Menerima Perasaan Anak
Kalau pada artikel tahun lalu saya belajar menerima perasaan anak dengan:
- Pengakuan (menerima perasaan anak dengan mengakui bahwa sang anak sedang kesal, sedih, marah, dan lain-lain)
- Mengalihkan perhatiannya pada hal lain
- Menggambarkan perasaan dalam bentuk seni
Untuk pengakuan, ternyata sudah tidak bisa lagi hehe.. namun terkadang ada satu masa ia mau saya peluk, saya gendong (meskipun beratnya sekarang sudah 20 kilo ya bun), dan saya belajar menyelami apa yang ia rasakan saat itu.
Untuk mengalihkan perhatiannya pada hal lain, ternyata belum cukup berhasil. Karena ketika ia marah, kesal, kebanyakan kondisi yang terjadi ia selalu meminta penyelesaiannya saat itu juga. Solusi yang saya tawarkan tentu saja kadang membuatnya lega atau bahkan membuatnya akan menangis lebih kencang hehe..
Seperti misalnya pada suatu hari Isya dan sepupunya (satu kelas gitu ceritanya) sedang menginginkan hal yang sama. Saat itu Isya punya bekal rumput laut kering yang diberi bumbu. Kebetulan saja tas Isya saat itu terbuka, sehingga bekalnya terlihat. Sepupunya Isya ini laki-laki, dan seketika melihat bekal yang Isya bawa, dia mau itu juga.
Posisinya tuh kita sedang berada di luar kelas, sedang mendengarkan dongeng bersama-sama dengan guru dan wali murid yang lain juga. Nah udah tuh, sepupunya ini nangis minta rumput laut yang ada di dalam tasnya Isya. Lalu saya minta izin ke Isya,
Nak, boleh yaa dikasih 1? Kan ada 2..
Memang dasarnya Isya menganggap sepupunya ini rival (karena sering banget bertengkar kalau bermain bersama) maka Isya tak mengizinkan saya untuk memberikan rumput laut itu ke sepupunya. Saya mengatakan padanya nanti pulang sekolah kita beli lagi.. Namun ternyata tak mempan.
Jadilah sepupunya itu semakin menangis menjadi-jadi hehe.. sampai harus diamankan karena ia memaksa untuk mendapatkan rumput laut saat itu juga.
Ketika saya mengalihkan perhatian pada hal lain, menceritakan dengan cepat bagaimana hebat dan luar biasanya anak-anak yang mau berbagi, Isya tetap dengan pendiriannya. Rumput laut itu milikku, nanti saja Almer (nama sepupunya) dibelikan setelah pulang sekolah.
Tapi kan cuma satu aja Kak kasih ke Almer deh.. kan nanti Isya bisa dapat lagi dua lho..
Saya juga agak memaksa gitu sih.. namun yang terjadi malah Isya nangis juga. Jadilah nangis dua-duanya. Tapi saya tetap tidak berani memberikan milik Isya itu ke sepupunya. Yang ada saya dimusuhin sampai pulang mungkin..
Isya saya gendong, saya peluk, saya minta maaf karena sudah sedikit memaksanya untuk berbagi. Saya mencoba memahami perasaannya ketika apa yang menjadi miliknya direbut oleh orang lain dan tidak ada yang membelanya.
Memang butuh waktu yang agak lama mendamaikan Isya dan Almer, membuat mereka berhenti menangis dan mencoba memahami perasaan mereka yang sudah pasti kesal. Namun ya begitulah, kalau kita mengorbankan salah satu anak agar yang nangis satu saja, ya tentu tidak adil. Oleh karena itu, sepupu saya yang sabar mencoba memahami Almer dan menghentikan tangisnya juga punya peran penting agar keduanya bisa berdamai hehe..
Alhamdulillaah Isya akhirnya mau berbagi. Saya lega meskipun butuh waktu 30 menit agar mereka berhenti. Bahkan saya sempat izin pada Isya untuk lari ke minimarket terdekat, membeli rumput laut untuk Almer. Tak disangka Isya meng-iyakan. Jadi dia maunya rumput laut di tasnya itu ya hanya miliknya, kalau Almer mau boleh tapi harus beli yang lain, jangan ambil punya Isya. Begitu kira-kira keinginannya heheh..
Memahami dan menerima perasaan anak memang tidak mudah, butuh waktu yang mungkin orang lain akan melihat kita ini kok ngga segera membuat anak berhenti menangis sih? Ya anak kan masih sedih, masa iya kita larang untuk menangis karena meluapkan kesedihannya?
Begitulah, semoga ada pelajaran yang bisa diambil dari kisah ini yaa.. hehe..