Masih dalam seri Perempuan Peradaban, tidak hanya pahlawan perempuan dari Jazirah Arab, tapi Indonesia juga punya lho pejuang-pejuang perempuan yang menjadi teladan sepanjang masa.
Nusantara kita pernah memiliki sejarah para penguasa perempuan yang memberikan kontribusi yang sangat besar bagi peradaban. Nah salah satu yang memiliki tradisi penguasa perempuan yang kuat adalah Aceh. Bahkan dimulai sejak Kesultanan Samudra Pasai.
Sebagai contoh Malikah Nah Rasyiah, dari kesultanan Samudra Pasai yang sangat terkenal pada masanya. Beliau melakukan banyak proses pencerdasan pada masyarakat dengan membangun madrasah-madrasah yang tidak hanya untuk laki-laki, tapi juga perempuan.
Ada juga yang menonjol dari Sultanah-Suktanah di Aceh, namun pada artikel kali ini kita akan membahas tentang seorang Sultanah yang sangat progresif, membangun hubungannya dengan ulama, serta mampu mengendalikan orang kaya dan para bangsawan di Aceh.
Kemudian pada masa Ayahandanya dan masa-masa sebelumnya sangat menentukan arah kebijakan politik.
Peran Shafiatuddin Tajul Alam Sebagai Istri
Shafiatuddin Tajul Alam adalah sosok perempuan yang berbeda dengan perempuan peradaban lain sebelumnya. Ia bukan hanya sebagai pendamping, namun seorang Sultanah Aceh yang berkuasa sejak tahun 1441 hingga 1675. Ada sejarah yang menjadi latar belakang bagaimana beliau berkuasa.
Sebagaimana kita tahu, kerajaan Samudra Pasai di Aceh mencapai kejayaannya di masa Sultan Iskandar Muda Mahkota Alam. Sultan Iskandar Muda ini bertahta antara tahun 1607 sampai 1636. Beliau seorang Sultan yang sangat dimuliakan dan dipuji oleh rakyat Aceh dengan politik ekspansinya yang luar biasa. Hingga kerajaan Aceh menguasai daerah-daerah hingga Sungai Kampar, Riau. Lalu meluas ke Semenanjung Malaka di wilayah Johor, Kedah, dan lain sebagainya.
Salah satu yang paling dikenang dari Sultan Iskandar Muda adalah keberanian beliau mengusir dan mengalahkan kekuatan Portugis yang saat itu masih bercokol di semenanjung Malaka.
Jadi perang antara Aceh dan Portugis ini berlangsung hingga puluhan tahun. Adanya Aceh ini menjadikan Portugis di Malaka menjadi semakin lemah dari waktu ke waktu. Hingga akhirnya di tahun 1641 Portugis tidak bisa bertahan lagi di Malaka meskipun akhirnya kekuasaan bukan jatuh ke tangan kaum Muslimin, tapi justru jatuh ke tangan VOC Belanda.
Yang menarik dari Sultan Iskandar Muda ini adalah beliau tidak memiliki pewaris laki-laki. Dalam sejarah Aceh disebutkan sebenarnya Sultan memiliki seorang pangeran yang dikenal sebagai Pangeran Meurah Pupok, namun diketahui telah melakukan perzinaan setelah menikah. Maka Sultan meminta agar pengadilan syariah menegakkan hukum rajam pada putranya tersebut.
Saat itu Sultan juga menerima protes dari para bangsawan dan keluarga dekat. Kenapa putra mahkota satu-satunya yang ia miliki malah diberi hukuman rajam. Sayang sekali karena nantinya Sultan tidak akan punya penerus. Sultan kemudian mengucapkan satu kalimat yang sampai saat ini menjadi sangat terkenal dalam tradisi Aceh Hadih Maja (ucapan bijak yang berdasarkan syariat hukum) :
Mateu anak meupat jeurat, gadoh adat ngon hukom pat tamita. Kalau anak mati masih ada kuburan dan nisan yang bisa diziarahi. Kalau yang mati hukum, kemana hendak dicari.
Hal itu akan mematikan harapan dan kepercayaan rakyat kepada Sultan dan Penguasa. Jadi ketika hukum justru tumpul ke atas dan tajam ke bawah, mentang-mentang anak Sultan lalu tidak mendapatkan hukuman sebagaimana mestinya, maka itu akan menjadi preseden yang buruk dalam penegakan hukum di masa yang akan datang.
Inilah kesadaran yang luar biasa dari seorang Sultan Iskandar Muda. Lalu ketika Sultan wafat di tahun antara 1636 atau 1637, Dewan Musyawarah Kesultanan sepakat menunjuk Iskandar Tsani (aslinya adalah Putra Mahkota Johor). Ia adalah orang Johor yang dijadikan sandra ketika Aceh menguasai Johor.
Nah, putra mahkota Johor ini dinikahkan dengan putrinya Sultan Iskandar Muda yang bernama Putri Sri Alam. Dan ternyata semasa Sultan Iskandar Muda hidup, ia melihat menantunya ini memang kompeten. Ia adalah seorang yang kuat, cakap, pintar, bijaksana dalam memerintah, dan juga bisa dipercaya.
Setelah Sultan Iskandar Muda wafat, diangkatlah menantunya ini dan diberi gelar Sultan Iskandar Tsani atau Sultan Iskandar kedua. Sayangnya beliau hanya memimpin sebentar saja karena usianya tidak panjang. Beliau wafat di tahun 1641, sehingga hanya memimpin 4-4,5 tahun saja.
Pada masa kepemimpinannya inilah, ia bersama istrinya, Ratu Shafiatuddin Tajul Alam memperkuat posisi syariat di Pemerintahan Aceh. Karena sejak kecil ia telah dididik oleh para ulama, maka tak heran ia mengedepankan dan memperkuat posisi syariat di Pemerintahannya.
Ia menyadari pada masa pemerintahan mertuanya dahulu, ada ulama terkenal yang disegani dan juga sangat berpengaruh bernama Syaikh Hamzah Fansuri yang membawa paham wahdatul wujud. Paham ini sangat kuat hingga dibawa oleh Siti Jenar ke Pulau Jawa. Sultan Iskandar Tsani melihat bahwa paham ini mengkhawatirkan, apalagi jika diajarkan secara harfiah pada orang awam.
Sehingga ketika ajaran ini diajarkan pada orang awam, mereka malah menjauhi syariat. Mereka tidak lagi melaksanakan salat karena asalkan hati mereka tertaut pada Allah, tidak ada yang mereka lihat di alam kecuali Allah, dan hal-hal menyimpang lainnya. Kekhawatiran ini ditakutkan oleh Sultan akan menjadi hal yang memudarkan bahkan memundurkan syiar Islam di Aceh.
Oleh karena itu beliau mengundang seorang ulama dan memberikannya tempat terhormat. Ulama tersebut bernama Syaikh Nuruddin Ar Raniri dari Ranir (sebuah daerah di Gujarat). Kedatangan beliau memperkuat Syah Quala (ejaan Indonesia sekarang disebut Syiah Kuala), Teungku Abdur Raif Assingkili, Mufti Aceh yang juga menentang adanya paham Wahdatul Wujud.
Syah Quala sendiri adalah daerah di mana beliau bermukim di Aceh dan asli dari Aceh.
Adapun Syakih Nuruddin disebut al Quraish karena memang beliau punya darah Arab Quraish.
Syaikh Abdurraif Assingkili merupakan ulama pengkaji, beliau sangat serius dengan kajian-kajian keilmuan. Sementara Syaikh Nuruddin Ar-Raniri ini lebih seperti ke Muballigh yang bisa beretorika dan berkhutbah dengan sangat baik dan indah. Sehingga pengaruhnya sangat dahsyat kepada pendengar kalangan awam.
Oleh karena itu Syaikh Abdurraif meskipun kontra dengan paham Wahdatul Wujud tersebut membutuhkan Syaikh Nuruddin untuk bisa memberi pemahaman yang mudah pada kalangan awam. Selain itu Syaikh Nuruddin juga termasuk seorang penulis yang produktif. Salah satu karyanya yang cukup dikenal di bangsa Melayu adalah berjudul “Bustanul Salatin” yang ditulis dalam Bahasa Melayu.
Fatwa tentang Pemimpin Perempuan
Saat Iskandar Tsani wafat dan posisi Syaikh Abdurraif serta Syaikh Nuruddin sudah lebih kuat di Pemerintahan, terjadilah perdebatan di kalangan ulama kala itu agar Sultan tetap seorang laki-laki. Sementara tidak ada Sultan laki-laki yang cukup umur untuk menduduki tahta kesultanan tersebut.
Sehingga Syaikh Nuruddin Ar Raniri yang menjadi mufti kala itu menyampaikan fatwa yang luar biasa bahwa kita bisa mengangkat seorang perempuan asal bisa memenuhi syarat sebagai Sultan. Karena Sultan Aceh kekuasaannya tidaklah mutlak seperti khalifah, namun ia membagi-bagi kekuasaannya pada beberapa bagian.
Ada yang memegang adat, ada yang memegang hukum, ada yang memegang kanun, ada juga yang memegang resam atau hukum perang. Jadi semua memiliki wilayah kekuasaan sendiri.
Maka dengan demikian, kekuasaan Kesultanan tidak masalah jika harus dipegang oleh perempuan. Karena kekuasaannya tidak absolut, dia akan tetap berkonsultasi dengan para ulama, berkonsultasi dengan Laksamana, berkonsultasi dengan Pemegang Hukum Adat, dan lain sebagainya di dalam menjalankan kekuasaannya. Akhirnya ulama lain tidak bisa membantah karena penyampaian dari Ar Raniri menggunakan landasan-landasan dalil yang benar dan bisa diterima oleh akal sehat.
Syaikh Ar Raniri kemudian mendukung Sultanah Shafiatuddin, putri dari Sultan Iskandar Muda, dan istri dan Sultan Iskandar Tsani, untuk naik tahta ke Sultanah Aceh.
Hadirnya Pemimpin Perempuan Pertama di Aceh, Shafiatuddin Tajul Alam
Apalagi Shafiatuddin ini adalah perempuan yang sangat kompeten. Bahkan semasa suaminya memimpin Pemerintahan sebagai seorang Sultan pun ia banyak membantu suaminya untuk meneguhkan syariat di Aceh dengan kekuasaannya.
Begitu beliau naik tahta, beliau langsung melakukan terobosan dengan langsung menunjuk Syaikh Nuruddin Ar Raniri menuliskan dan menerbitkan kitab Hidayatul Imam. Kitab Hidayatul Imam ini berisi penjelasan-penjelasan aqidah secara sederhana untuk orang awam.
Kemudian kitab-kitab tersebut dikirim ke seluruh Imam-Imam masjid, juga kepada Para Panglima Sagi dan Hulubalang untuk diajarkan sampai ke pelosok Aceh.
Sultanah juga meminta Syaikh Nuruddin Assingkili untuk menulis kitab Mir’atut Tulab. Yakni kitab yang jauh lebih kompleks tentang hukum-hukum Fikih dalam ketatanegaraan. Meliputi hukum tata negara, hukum pidana, hukum perdata dan hukum dagang. Jadi kitab ini nantinya akan menjadi rujukan dalam Pemerintahan.
Selain itu beliau juga meneguhkan bidang ekonomi dengan meningkatkan perdagangan yang selama Masa Iskandar Muda dilarang. Contohnya dalam perdagangan gajah, adalah menjadi salah satu komoditas utama yang memperkaya wilayah Aceh. Ada sekitar 30-40 gajah setiap tahunnya dikirim ke India.
Bahkan dalam satu tahun yakni dalam masa Pemerintahan salah satu putra Syakh Jahan, beliau mengimpor gajah dari Aceh untuk peperangan sekitar 15o gajah.
Shafiatuddin ini juga mendatangkan pedagang-pedagang dari berbagai Negara untuk mengimbangi kongsi-kongsi dagang yang berusaha memonopoli. Jadi beliau tidak ingin VOC memonopoli pasar Aceh dengan cara tersebut untuk orang-orang Inggris, Portugis, dan lain sebagainya. Hal ini juga ternyata menguntungkan rakyat Aceh, karena Sultanah memerintahkan pada orang-orang kaya di Aceh untuk membeli hasil pertanian rakyat Aceh dengan harga yang pantas dan baik, barulah dari saudagar Aceh dijual kembali kepada orang-orang luar.
Shafiatuddin juga seperti Malikah Nahrosiah dari Samudra Pasai yang dikenal dengan Pendiri Madrasah-Madrasah yang digunakan bukan hanya untuk mendidik kaum laki-laki, tapi juga untuk perempuan. Bahkan di wilayah Harem Istana, Daruddunia di kesultanan Aceh yang dahulu tertutup kini terbuka dengan mendatangkan banyak guru untuk mengajarkan tentang banyak hal.
Sehingga saat itu lazim bagi perempuan untuk menempuh pendidikan tinggi. Tak heran setelah masa Sultanah Shafiatuddin, banyak bercokol perempuan-perempuan berpendidikan tinggi yang tidak kalah dengan kaum laki-laki.
Pada masa pemerintahannya pun, beliau sangat pro rakyat. Sehingga banyak masyarakat mengatakan bahwa di masa beliau adalah masa keemasan keIslaman dan keMelayuan di sepanjang sejarah yang tak pernah tertandingi.
Kalau di masa Iskandar Muda kala itu politik dan pertahanan adalah mencapai masa keemasannya, namun di masa Sultanah Shafiatuddin terdapat kemajuan pendidikan, literasi, budaya, dan peradaban lainnya sehingga beliau sangat dikenal di wilayah Asia Tenggara, bahkan Asia.
Hal ini membuktikan bahwa Islam sebenarnya tidak mengekang perempuan, bahkan memberinya kesempatan untuk bertumbuh, berkembang dan berkontribusi sebanyak-banyaknya untuk kejayaan Islam. Juga menunjukkan bahwa perempuan bisa punya peran penting dengan inovasi-inovasinya yang banyak menjadi contoh dan tidak kalah baiknya dengan apa yang dilakukan oleh pemimpin laki-laki.
Semoga artikel ini bermanfaat! Ikuti juga kisah Perempuan Peradaban lain di sini yuk!
Saya jujur baru tahu sosok Ratu shafiatuddin Tajul Alam ini. Dan keren sekali sosoknya, selain menjadi istri yang berpengaruh baik untuk suaminya, juga setelah itu. Beliau melakukan hal agar perdagangan rempah tidak di Monopoli oleh VOC. Kebetulan saya kemarin membaca soal kehadiran Portugis di Malaka. Dan Sultan Iskandar Muda ikut melemahkan kekuatan portugis, ya.
Ternyata, Indonesia juga tidak kekurangan tokoh perempuan muslimah yang hebat ya. Eh iya, kayaknya aku tuh pernah baca novel yang salah satu tokohnya adalah ulama besar Aceh. Aku lupa nama persisnya di novel tersebut. Tapi, aku ingat nama belakangnya yaitu Ar Raniri.
Engehnya saya kalau tentang Aceh ya pahlawan wanitanya yang tersohor, ternyata ada pula sosok Ratu Shafiatuddin yang bisa menjadi inspirasi bagi siapa saja
Perempuan punya potensi yang sama dengan lelaki. Hal ini ditunjukkan dengan sangat jelas oleh Sultanah Shafiatuddin, pada masanya bermunculan banyak perempuan berpendidikan bagus. Jadi sebenarnya emansipasi itu sudah ada sejak lama, hanya saja perlu tanggung jawab yang menyertainya.
Kagum banget sama Sultan Iskandar Muda.
MashaAllaa.. memang menjdi pemimpin itu berat. Untuk dirinya sendiri aja nanti di akhirat diminta pertanggungjawabannya apalagi untuk Kerajaan sebesar Samudra Pasai ini.
Dan karena kepemerintahannya yang adil, serta perjuangan beliau, melahirkan ananda yang juga kemudian menjadi pemimpin adil dan disayangi masyarakat Aceh, Ratu Shafiatuddin Tajul Alam.
Semoga Allaah melapangkan kubur para pemimpin adil dan menjadikan perjuangannya amal jariyyah yang hingga kini masih kita nikmati, yakni kemerdekaan.
Sejarah Aceh memang luar biasa. Semasa aku kecil, nama Sultan Iskandar Muda yang paling familier bagiku. Bukan karena paham sejarahnya, tapi karena bapak dinas di Kodam I Iskandar Muda. Hehe…. Pantas saja nama Sultan diabadikan sedemikian rupa karena kepemimpinannya luar biasa.
Sayang ya, sekarang yang dikhawatirkan Sultan Iskandar Muda telah banyak terjadi: kalau hukum mati, ke mana hendak dicari.