Sayyidah Al Hurra, Perempuan Peradaban Penjaga Terakhir Andalusia

Masih dalam episode Perempuan Peradaban yang dipaparkan oleh Ustadz Salim A Fillah dalam sebuah rangkaian series 29 episode. Nah untuk episode kali ini, kita akan membahas tentang seorang perempuan bernama Sayyidah Al Hurra’ yang disebut-sebut sebagai penjaga terakhir Andalusia.

Bagaimana kisahnya dan pelajaran apa saja yang bisa kita ambil darinya? Simak yuk!

Siapa Sayyidah Al Hurra?

Selain Lubna dari Cordoba yang merupakan seorang matematikawan yang sangat luar biasa, ada satu penghubung antara Andalusia dengan Bumi Maghrib yang ada di Afrika dan Eropa saat itu. Ada satu nama yang terkenal saat itu, yaitu Al Hurra’.

Al Hurra’ diberi gelar Sayyidah karena nasab dari Ayahandanya yang bersambung ke Ali bin Abi Thalib, melalui Sayyidina Hasan bin Ali bin Abi Thalib. Sehingga masih dianggap Ahlul Bait dari keluarga Sayyidina Hasan bin Ali bin Abi Thalib.

Sayyidah Al Hurra lahir di Granada, emirat terakhir, yang juga merupakan kesultanan terakhir di dataran Andalusia yang bertahan hingga kemudian terjadi persatuan antara kerajaan Aragon dan kerajaan Kastilia. Raja Ferdinand dari Aragon dan Ratu Isabella menyatukan kerajaannya dan melakukan reconquesta atau penaklukan kembali wilayah-wilayah yang dikuasai oleh kaum Muslimin di akhir abad ke-15 kala itu.

Kehancuran Granada 

Pada akhir abad itu memang wilayah kekuasaan Andalusia tinggal sedikit sekali. Andalusia kala itu masuk ke dalam wilayah Spanyol. Nah kota Granada di Spanyol ini dalam bahasa Arab disebut Qaranatah, yang merupakan benteng pertahanan terakhir umat Islam di Andalusia.

Perlu kita ketahui sebelumnya bahwa terpuruknya Andalusia mulai terjadi ketika runtuhnya kekhalifahan Umayyah di Cordoba. Ketika kekhalifahan di Cordoba jatuh, negara-negara Islam menjadi terpecah menjadi kota-kota, dan di masing-masing kota memiliki pemimpinnya masing-masing. Sehingga banyak terjadi perpecahan, belum lagi ada pula pemimpin kota-kota yang bekerjasama dengan kaum musyrikin untuk memerangi saudaranya sendiri, yakni kaum Muslimin.

Sehingga terjadilah penurunan yang begitu dahsyat di segala bidang di Andalusia. Meskipun sempat terjadi kebangkitan kembali kaum Muslimin sampai dua kali di Andalusia melalui Daulah Al Murobitun dan Al Muwahidun untuk menguatkan kembali kaum Muslimin, namun hal buruk yang terjadi tidak dapat dicegah hingga wilayah kaum Muslimin semakin mengecil dan sempit hingga kesultanan terakhir yang bertahan adalah Granada.

Granada ini diperintah oleh satu dinasti sultan-sultan yang pada waktu itu juga disebut dalam buku Ahmad Thompson bahwa pada masa itu juga terjadi penurunan moral yang sangat luar biasa. Sultan-sultan ini bersaing satu sama lain untuk mendapagtkan budak-budak berkulit putih, berkulit merah, berkulit hitam, dan itu menjadi kebanggaan dan pameran di antara mereka.

Jadi orientasinya sudah melenceng, sangat duniawi dan lepas dari syariah. Bahkan disebutkan bahwa kala itu di istana Granada, yaitu istana Al Hambra ada satu kolam di mana isinya bukanlah air segar biasa, namun berisi khamr. Di sana lah dilakukan pesta-pesta, di samping kolam renang itu disediakan makanan/hidangan, dan di dalam kolam yang berisi khamr berkualitas tinggi itu dipersilakan budak-budak wanita tadi untuk berenang di dalamnya.

Tidak berhenti di situ, di sana mereka saling mengundi untuk mendapatkan budak mana yang harus melayani mereka malam itu. Mereka bertaruh, minum-minum dari khamr yang berada di kolam. Sampai ada cerita seorang Perdana Menteri yang menunjukkan sebuah dekadensi yang luar biasa bagi kaum Muslimin di Andalusial; bahwa Perdana Menteri terakhir di Granada kala itu adalah seorang Yahudi.

Saat itu bisa dibilang Yahudi ini malah lebih waras dibanding lainnya. Karena ketika dipersilakan sultan untuk minum khamr dari kolam tersebut, ia justru mengatakan: “Tidak tuanku, karena saya ini orangnya kalau meminum kuahnya, maka biasanya tidak ingin melepaskan dagingnya.”

Maksudnya, jika ia meminum khamr dari kolam tersebut, maka budak-budak wanita yang ada di kolam tersebut akan dikuasainya. Sehingga ia pun tidak mau meminum khamr tersebut.

Hal tersebut menjadi kebiasaan dan suatu kewajaran di tengah berbagai keluarga dinasti yang berkuasa di masa-masa akhir kejayaan Andalusia tersebut hingga akhirnya satu per satu wilayahnya jatuh ke dalam wilayah kekuasaan Raja Ferdinand dan Ratu Isabella dari Kastilia yang terus merangsek dengan pasukannya yang sangat kuat.

Hancurnya kekuasaan Islam di Andalusia memang prosesnya panjang, dimulai dari perpecahan sampai orientasi dunia yang sangat kuat. Sultan terakhir yang berkuasa di Andalusia disebut dalam berbagai sejarah disebut sebagai Bo Abdil atau atau Abu Abdillah sampai ia tak mampu mempertahankan kesultanannya, dan istana Al Hamra yang dibanggakannya diserahkan pada Raja Ferdinand dan Ratunya.

Ketika menyerahkan istana itu, sultan terakhir memohon dalam terminnya agar rakyatnya tidak disakiti. Ia pun naik bersama keluarganya ke pegunungan yang membatasi wilayah Granada dengan pantai. Di sana konon ia mendesah dan menangis di atas bukit itu, sehingga bukit tersebut sampai sekarang diberi nama El ultimo sospiro del moro. Artinya desah nafas terakhir orang Mor (sebutan orang-orang Spanyol untuk kaum Muslimin).

Abu Abdillah menangisi kota Granada yang jatuh ke tangan musuhnya.

Saat itu, Ibu dari Sultan Abu Abdillah ini mengatakan sesuatu yang terkenal hingga saat ini:

“Wahai putraku, jangan kau tangisi seperti perempuan apa yang tak bisa kau pertahankan seperti laki-laki.”

Sultan terakhir bersama keluarganya kemudian menyeberang lautan dan menjadi eksil atau orang buangan. Ia memulai kehidupan baru sebagai keluarga bangsawan tapi tidak memiliki kekuasaan di wilayah yang disebut Maroko sekarang.

Pada tahun 1492 ini, Sayyidah Al Hurra berusia 7 tahun, dan dia mengingat bagaimana keluarganya terusir dari Andalusia. Ia mengingat bagaimana Raja Ferdinand ini tidak menepati janji yang telah ia berikan pada Abu Abdillah. Dalam hal ini kaum Muslimin, orang-orang Yahudi yang beragama selain Katolik Roma diberi pilihan : mau tetap di sini tapi mati atau pergi.

Kala itu Raja Ferdinand dan Ratu mendapatkan dukungan kuat dari Ordo Dominican, yang merupakan sekte kejam. Mereka melakukan penyiksaan apa pun itu untuk memaksa kaum Muslimin masuk ke dalam agama mereka.

Akhirnya kemudian kaum Muslimin banyak yang terpaksa pergi dari Andalusia menuju ke wilayah Maghrib, dalam hal ini ke wilayah Tunisia dan Maroko saat itu. Sebagian lagi menuju ke wilayah kesultanan Usmaniyah, dan di sana mereka disambut oleh Sultan Salim I, cucunya Muhammad Al Fatih dan Ayahanda dari Sulaiman Al Konuni pada saat itu. Mereka menyambut secara besar-besaran para pengungsi baik Muslim maupun Yahudi yang dipersekusi di Granada.

Pada saat itu Sulan Salim I mendengar kaum Muslimin mengeluhkan bagaimana mereka dipersekusi hingga Sultan Salim I berkata :

“Kalau memang seperti itu yang mereka lakukan pada kaum Muslimin di Granada, maka saya sebagai sultan Usmani, saya akan membunuh semua orang Katolik yang berada di wilayah saya!”

Namun kala itu Syaikhul Islam, yaitu seorang Mufti memfatwakan hal itu adalah haram hukumnya dilakukan oleh seorang penguasa Muslim kepada orang-orang yang tidak memeranginya secara harbi meskipun mereka berbeda agama dan keyakinan. Jadi kalau mereka berada di wilayah kekuasaan Sultan maka mereka juga mendapatkan hak untuk dilindungi.

Pembentukan Angkatan Laut oleh Sayyidah Al Hurra

angkatan laut Sayyidah Al Hurra

Adapun keluarga Sayyidah Al Hurra ini menjadi seorang Muhajir dalam keadaan terusir tidak memiliki apa-apa karena semua asetnya juga sudah dirampas di Granada.

Sesampainya di Maroko, mereka dibawa ke kota Tetuan. Sayyidah Al Hurra dinikahi oleh penguasa di kota Tetuan tersebut, disebut sebagai penguasa Al Mandari. Al Hurra menjadi first lady di wilayah Tetuan. Lalu di wilayah inilah Sayyidah Al Hurra memungkinkan untuk membuat angkatan laut di bawah kepemimpinannya dan seatas izin suaminya. Semua itu berkat kecerdasan beliau.

Sayyidah Al Hurra memimpin sendiri angkatan laut tersebut dan ketika melihat ambisi kerajaan kristen Spanyol ini tidak hanya berhenti di Andalusia, namun juga mengerahkan pasukannya ke Afrika Utara, Sayyidah Al Hurra tidak tinggal diam.

Sayyidah Al Hurra kemudian menghalangi ekspansi pasukan dari Raja Ferdinand ke wilayah kaum Muslimin di Afrika Utara. Saat itu Sayyidah Al Hurra punya ide untuk bersekutu dengan banyak pihak, termasuk dengan kesultanan Maghrib dan Laksamana Kesultanan Usmaniy, kecuali wilayah Tunisia dan Maroko. Namun hingga Aljazair masuk ke dalam kesultanan Usmaniy.

Muncul pula seorang laksamana yang hebat dari Kesultanan Usmaniy yang menjaga perairan wilayah Laut Tengah bagian Timur yang bernama Khoiruddin Barbarosa. Barbarosa dari bahasa latin yang berarti jenggot merah. Khairuddin Barbarosa ini menjadi sosok yang sangat ditakuti oleh angkatan laut Eropa dan dianggap sebagai ancaman karena membuat seluruh jalur laut pasukan Eropa tidak aman.

Oleh karena itu di film-film masa kini sosok “Barbarosa” selalu lekat dengan sosok bajak laut yang jahat. Padahal, ia adalah laksamana dari Kesultanan Usmaniy yang sangat tangguh dan hebat.

Laksamana ini memimpin angkatan laut Usmani untuk melawan Liga Suci Kepausan dan berulang kali Barbarosa menjadi pemenangnya.

Begitu juga dengan Sayyidah Al Hurra yang saat itu akhirnya juga menjadi seorang Laksamana wanita yang ditakuti oleh pasukan musuh. Kaum Muslimin kala itu menjuluki Barbarosa dan Sayyidah Al Hurra sebagai penjaga Laut Tengah dari invasi musuh.

Kekuatan Angkatan Laut yang Dipimpin Oleh Sayyidah Al Hurra

Sayyidah Al Hurra sangat terampil menata pasukannya untuk mencegah invasi musuh ke negeri-negeri Maghrib. Beliau mati-matian bertempur untuk menghadang musuh sehingga invasi negara Eropa selalu gagal.

Hingga ketika beliau ditinggal syahid oleh suaminya, ia menikah lagi dengan seorang Sultan di Maroko. Hingga dalam sejarah dicatat satu-satunya masa seorang sultan di Maroko keluar dari kotanya untuk menikahi seorang perempuan. Karena biasanya perempuan-perempuan lain kalau menikahi sultan, didatangkan ke ibukota lalu menikah di ibukota.

Sementara ketika menikahi Sayyidah Al Hurra, beliau berkata :

Saya di sini, saya sedang berada di front depan jihad untuk menghadang pasukan musuh. Sehingga kalau Sultan ingin menikahi saya, silakan datang kesini.

Kemudian Sultan yang datang ke kota Tetuan dan menemui Sayyidah Al Hurra. Di sana Sayyidah Al Hurra menjelaskan kondisinya, bahwa ia sedang menghadapi pasukan Salibis. Ia juga mengatakan;

“Kalau Tuanku memang hendak menikahi saya, saya minta Tuanku untuk membantu Angkatan Laut saya ini.”

Karena itulah angkatan laut mereka diperkuat dan menjadi semakin kuat untuk menghadang invasi Eropa ke negeri-negeri kaum Muslimin di Afrika Utara. Bahkan sejarah mencatat, kalau tidak ada Sayyidah Al Hurra maka kota-kota di Afrika Utara bagian Barat ini pasti sudah dikuasai oleh kerajaan Spanyol.

Oleh karena itulah Sayyidah Al Hurra disebut sebagai pembela terakhir Andalusia karena beliau memang benar-benar punya kiprah besar dalam mempertahankan wilayah kaum Muslimin di wilayah Afrika Utara dari serangan kaum Salibis di Eropa.

Sayyidah Al hurra

Kesimpulan

Sehingga benar yang dikatakan oleh para ulama bahwa terkadang kondisi nyaman itu menyebabkan lahirnya generasi yang lemah. Ketika seseorang berada di kondisi yang sangat berat, sebagaimana yang terjadi pada Sayyidah Al Hurra, maka lahirlah jiwa-jiwa pahlawan di dalamnya.

Hal ini juga menjadi satu pelajaran bagi kita, bahwa mungkin di antara kita lahir di kondisi yang sangat berat, mungkin itu adalah kasih sayang Allah untuk membentuk kepribadian kita menjadi lebih kuat. Sehingga nantinya bisa memiliki kiprah dan kontribusi yang luar biasa di masa depan.

 

 

 

Leave a Comment

error

Enjoy this blog? Please spread the word :)