Perempuan Peradaban : Kisah Ibunda Siti Hajar, Ibunda Kota Mekkah

Bersama Ustadz Salim A. Fillah kali ini saya mengikuti kajian online dari SAF dengan tajuk Perempuan Peradaban Series. Episode pertama kali ini ustadz Salim bercerita tentang kisah Ibunda Siti Hajar.

Sebelum itu, perlu diketahui bahwa perempuan diturunkan dari kata empu (memiliki) atau (berkarya/membuat/mulia karena sesuatu). Kata dasar tersebut juga menunjukkan kepemilikan

Pada perempuan lah Allah menitipkan rahim, tempat tumbuhnya manusia-manusia baru yang berkualitas.

Pandangan Islam Terhadap Perempuan

Kita memahami bahwa Islam tidak punya track record misogenis atau memandang rendah perempuan. Kalau kita melihat di masa-masa kekaisaran Romawi, perempuan tidak memiliki hak-hak yang sama dengan lelaki. Ia hanya punya setengah dari hak kewarganegaraan, bahkan bisa dihibahkan, seperti properti.

Bahkan hingga abad ke-22 sendiri, India juga punya tradisi namanya Sati. Ketika suami meninggal dunia, dan ketika suami diperabukan kalau istri mau dipuja maka ia juga harus turut terjun ke dalam api.

Pun dengan tradisi Arab Jahiliyah yang memiliki tradisi mengubur anak perempuan hidup-hidup.

Al-Quran telah banyak membahas tentang perempuan-perempuan yang dimuliakan oleh Allah. Salah satunya yakni tentang Ibunda Siti Hajar.

Kisah Ibunda Siti Hajar

Merupakan salah satu seorang perempuan yang sangat dahsyat keimanannya. Apa yang beliau tinggalkan menjadi tempat yang diberkahi oleh Allah, tempat jutaan manusia ingin berkunjung dan meneladani perilaku beliau, Sayyidah Hajar.

Ibunda Siti Hajar bukan berasal dari Baitul Maqdis, berbeda dengan suaminya. Ibunda Siti Hajar berasal dari Mesir. Rasulullah pernah bersabda agar kita melebur dengan orang Mesir. Karena memang pada dasarnya kita masih berhubungan nasab dengan orang Mesir.

Selain tentang Ibunda Hajar, Rasulullah juga pernah menikah dengan Maria Al Qibtiyah yang juga orang Mesir.

Jadi dengan orang Kibti atau Mesir ini masih punya hubungan perbesanan.

Para ulama mengatakan pada masa Nabi Ibrahim Mesir saat itu terbagi menjadi : Mesir Hulu dan Mesir Hilir.

Kondisi Mesir Saat Nabi Ibrahim Singgah

Mesir Hulu (di seberang sungai Nil) dikuasai oleh suku Kibti (kulitnya kehitaman dengan rambut ikal/keriting, dan tubuhnya juga tidak terlalu tinggi) dan juga suku Nubia (dari Ethiopia).

Mesir Hilir berada di ujung sungai Nil sebelum bertemu dengan Laut Tengah. Kerajaan ini dianggap lebih maju dan terbuka pada peradaban karena dekat dengan kerajaan di luar Mesir lainnya.

Hulu dan Hilir ini saling berperang, dan pada masa Nabi Ibrahim terjadi penaklukan Mesir Hilir menaklukkan Mesir Hulu dan menjadikan warga Mesir Hulu sebagai budak. Ibunda Siti Hajar inilah yang menjadi salah satu budak atau tawanan perang meskipun beliau adalah anak Raja Mesir Hulu.

Saat itulah terjadi kunjungan Nabi Ibrahim dari Baitul Maqdis ke tanah Kan’an bersama Sarah. Adapun Sarah sendiri adalah sepupu dari Nabi Ibrahim sendiri. Ketika Nabi Ibrahim tiba, Raja Mesir (yang sudah bersatu) ini belum dinamakan Fir’aun.

Ketika itu Nabi Ibrahim mengatakan pada Sarah : “Nanti kamu akan kusebut sebagai saudaraku, bukan istriku.”

Sebabnya Raja Mesir yang mata keranjang ini selalu mengambil istri-istri orang lain yang dianggapnya menarik. Jika Nabi Ibrahim mengatakan Sarah adalah saudarinya, kemungkinan besar Raja Mesir tidak akan mengganggu Sarah. Kedudukan saudari pada masa itu lebih tinggi dibanding seorang istri.

Untuk itulah Nabi Ibrahim melindungi Sarah dengan cara tersebut. Setidaknya Sarah tidak akan dipersembahkan pada Raja, dihibahkan seperti properti. Meskipun ada kemungkinan Sarah akan dibawa oleh Raja Mesir, namun jika itu saudarinya Ibrahim maka Ibrahim bisa mendampinginya.

Lalu setelah bertemu dengan Raja Mesir, seperti yang sudah diduga ketika Sarah dibawa ke kamar oleh Raja Mesir dengan didampingi oleh Nabi Ibrahim, beliau banyak berdoa agar Allah menjaga Sarah.

Ternyata benar, ketika Sarah didekati oleh Raja Mesir, Allah mengabulkan doa Nabi Ibrahim. Badannya lumpuh tidak bisa bergerak. Begitu Raja bisa bergerak, ia pun membawa keluar Sarah.

Kelumpuhan tersebut membuat Raja marah sekaligus respek terdan akhirnya Nabi Ibrahim mengaku pada Raja bahwa Sarah sesungguhnya adalah istrinya.

Kemudian Raja menerima dakwah Nabi Ibrahim dengan penuh rasa hormat (namun tidak ada keterangan lengkap apakah menganut agama yang dibawa oleh Nabi Ibrahim) sekaligus memberi hadiah Nabi Ibrahim seorang wanita bernama Siti Hajar.

Lalu kembalilah Nabi Ibrahim bersama Siti Hajar dan juga Sarah.

Dalam perjalanan mereka, Sarah yang sangat mencintai suaminya, menghormati dan menginginkan kebaikan untuk suaminya mengusulkan untuk menikahi Siti Hajar agar bisa meneruskan dakwahnya. Awalnya, Nabi Ibrahim menolak, namun Sarah berkali-kali membujuknya hingga akhirnya Nabi Ibrahim menerimanya.

Setelah menikah, Sayyidah Hajar mengandung dan perhatian Nabi Ibrahim tertumpah-tumpah pada Sayyidah Hajar.

Lalu terbitlah rasa cemburu Sarah pada Hajar. Makin dipendam perasaan cemburu tersebut makin meraksasa dalam dirinya, sehingga tepat menjelang persalinan Hajar, Sarah sangat marah hingga mengucapkan : “Demi Allah jika perempuan itu ada di hadapanku akan kupotong tubuhnya hingga tiga bagian.”

Nabi Ibrahim segera membawa Sayyidah Hajar untuk pergi dan berhijrah menjauh dari Sarah. Adapun Hajar menanggalkan pakaiannya, dan memakai pakaian pelayan sambil mengatakan :

“Bagaimanapun aku adalah pelayan Kakak. Aku tidak hendak bersaing dengan Kakak dan aku bukan saingan Kakak. Aku bukan hendak merebut suamimu tapi aku hendak berkhidmat padamu.”

Namun namanya cemburu, Sarah tidak bisa menerima semua itu.

Ibunda Hajar Hijrah Setelah Melahirkan

kisah Sayyidah Hajar

Sayyidah Hajar berjalan dari Baitul Maqdis hingga Lembah Bakkah yang ada di tengah-tengah jazirah Arab tepat setelah melahirkan Nabi Ismail. Perjalanan tersebut bisa mencapai 15 hari.

Ketika mereka tiba di lembah Bakkah, bekal Nabi Ibrahim tak bersisa lagi. Namun justru di tengah kepelikan tersebut, Allah memerintahkan Nabi Ibrahim untuk meredakan kecemburuan Sarah. Nabi Ibrahim pun segera kembali ke tanah Kan’an, karena Sarah telah menunggu Nabi Ibrahim.

Sebagai informasi, lembah Bakkah adalah lembah yang tidak ada tanaman-tanaman sedikit pun. Di situlah Hajar tinggal untuk sementara.

Ibrahim melangkah ke arah Utara dengan bimbang dan perasaan yang tidak nyaman karena meninggalkan Hajar dalam kondisi demikian. Meskipun ia sadar bahwa itu semua adalah perintah Allah.

Akhirnya Ibrahim tidak bisa berkata-kata lagi dan terus berdoa ketika hendak melakukan perjalanannya ke arah Utara :

Rabbanaaa inniii askantu min zurriyyatii biwaadin ghairi zii zar’in ‘inda Baitikal Muharrami Rabbanaa liyuqiimus Salaata faj’al af’idatam minan naasi tahwiii ilaihim warzuqhum minas samaraati la’allahum yashkuruun.
Ya Tuhan, sesungguhnya aku telah menempatkan sebagian keturunanku di lembah yang tidak mempunyai tanam-tanaman di dekat rumah Engkau (Baitullah) yang dihormati, ya Tuhan (yang demikian itu) agar mereka melaksanakan shalat, maka jadikanlah hati sebagian manusia cenderung kepada mereka dan berilah mereka rezeki dari buah-buahan, mudah-mudahan mereka bersyukur.

Tidak ada lagi hal yang bisa diberikan oleh Ibrahim pada Siti Hajar dan Ismail kecuali doa.

Ketika suaminya berjalan ke arah Utara inilah Hajar menyadari bahwa Ibrahim semakin jauh. Hajar berlari-lari kecil mengejar suaminya sambil menggendong Ismail. Sayyidah Hajar bertanya, “kenapa kau tinggalkan aku?”

Namun dalam kondisi seperti itu Nabi Ibrahim tidak bisa menjawab. Ia khawatir Hajar akan suudzon pada Allah. Ia tak bisa mengatakan apa-apa. Nabi Ibrahim takut Siti Hajar akan tidak ridha pada Allah, dan itu lebih berbahaya.

Sampai tiga kali Nabi Ibrahim ditanya tapi beliau tidak bisa menjawab. Lalu Siti Hajar pun mengubah pertanyaannya menjadi :

“Apakah ini perintah Allah?

Ibrahim yang mendengar pertanyaan tersebut menangkap bahwa Siti Hajar siap menerima fakta tersebut. Sambil menggenggam tangan Siti Hajar, Ibrahim mengatakan “iya ini perintah Allah.”

“Jika demikian pasti Allah tidak akan menyia-nyiakan kami. Jika ini perintah Allah maka Allah lah yang akan melindungi kami.”

Nabi Ibrahim mengetahui bahwa Siti Hajar lebih memenangkan perintah Allah dibanding egonya. Siti Hajar pun tidak pernah menyampaikan kalimat-kalimat yang menunjukkan ketidak ridhaannya pada Allah. Ibunda Hajar menerima keputusan Allah tanpa rasa khawatir dan mantap melepas Nabi Ibrahim.

Menurut para ulama, kalimat Hajar: “Jika demikian pasti Allah tidak akan menyia-nyiakan kami” menjadi ujian baginya. Bekalnya habis, airnya habis, dan air susunya tidak bisa keluar. Hingga Ismail terus menangis. Tangisannya adalah tangisan bayi yang sekarat.

Teladan Ibunda Siti Hajar

Kisah Ibunda Siti Hajar

Ibunda Hajar pun berikhtiar mencari air atau tanda-tanda sumber makanan dengan mendaki ke bukit Shafa di bawah terik matahari yang luar biasa dengan batu-batu tajam yang melukai kaki. Namun ia tak menemukan apapun di situ. Lalu ia pun pindah ke bukit Marwah.

Namun ia pun tak mendapati apapun di sana. Apakah Hajar menyerah? Tidak. Ia kembali menunjukkan kesungguhannya pada Allah atas kegigihannya, dengan berlari dari Shafa dan Marwah hingga 6x lamanya. Hingga akhirnya mengucurlah air zam-zam di kaki Nabi Ismail.

Hal ini menunjukkan bahwa orang betaqwa justru diberi dari rizki yang tidak disangka-sangka. Tempat itulah yang disebut sebagai mata air zam-zam yang tak pernah kering meskipun digunakan milyaran manusia hingga sekarang.

Inilah Sayyidah Hajar. Tanpa ada kalimat beliau tidak akan ada kota Mekkah. Kita tidak akan berhaji ke Baitullah. Karena dengan keteguhannya Ibunda Hajar merawat tempat itu dan mendatangkan mukjizat bagi kota tersebut.

Bahkan bagian dari manasik haji yang sangat penting dari Ibunda Hajar yakni Sai dijadikan syariat oleh Allah. Ini menunjukkan bahwa usaha Hajar sangat dihargai oleh Allah.

Keteladanan beliau juga tak berhenti di situ, bahkan sampai Nabi Ismail akan disembelih atas perintah Allah.

Siapa yang mendidik seorang anak ketika Ayahnya mengatakan : “Aku melihat kamu disembelih dalam mimpiku.”

Lalu dijawab oleh Ismail :

“Wahai Ayahanda tercinta, laksanakanlah yang diperintahkan oleh Allah. Niscaya engkau akan dapatiku sebagai orang-orang yang sabar.”

Karena inilah lahirlah bangsa Arab yang besar dan dari jalur ini lahirlah Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam.

Kita harus yakin bahwa pertolongan Allah itu dekat dan jagalah hati agar tidak berprasangka buruk pada Allah.

Tidak ada yang bisa membatasi karunia Allah kecuali prasangka kita sendiri

Semoga kisah Ibunda Siti Hajar ini dapat memberikan inspirasi bagi kita semua.

 

 

Leave a Comment

error

Enjoy this blog? Please spread the word :)