Perempuan Peradaban Episode 8 kali ini Ustadz Salim A Fillah bercerita tentang Asma binti Umais, yang juga dijuluki sebagai pendamping 3 lelaki mulia. Kok bisa? Simak yuk!
Kisah Perempuan Peradaban : Asma binti Umais
Asma binti Umais ini berasal dari suku Bani Taim, seperti Abu Bakar As-Sidiq, Bani Taim ini salah satu kafilah yang penting di kalangan orang Quraisy yang berkuasa di Mekkah. Bani Taim ini memegang kendali di bidang perdagangan dalam berbagai aspek.
Abdullah bin Jun’an yang juga merupakan paman Abu Bakar adalah tokoh Hilfulfudul, yakni sumpah orang-orang yang memiliki keutamaan. Mereka bersumpah di hadapan Ka’bah untuk melindungi orang-orang yang lemah dan terdzalimi. Kalau sekarang semacam lembaga advokasi gitu deh.
Asma binti Umais punya saudari bernama Salma binti Umais. Keduanya diambil menantu oleh keluarga Bani Hasyim. Salma dinikahi Hamzah bin Abdul Muthalib, sementara Asma dinikahi Ja’far bin Abi Thalib (keponakan Hamzah).
Saat itu Ja’far merupakan salah satu sahabat Nabi yang memimpin umat Islam hijrah ke Habasyah. Lebih jauh daripada ke Madinah, dan juga lebih berat karena melewati lautan.
Saat itu ada seorang Raja Habasyah memang seorang pemimpin yang akan melindungi orang-orang terzalimi, sehingga banyak umat Islam hijrah kesana untuk melindungi keimanan mereka. Orang yang hijrah ini merupakan para bangsawan Quraisy.
Lalu setelah rombongan sampai ke Habasyah, orang-orang Quraisy mendeportasi mereka dari Habasyah, berusaha menarik mereka untuk pulang ke Mekkah. Isu ini kemudian menjadi isu yang menyebar luas ke seluruh penjuru negeri, dan ini sudah diprediksi oleh Nabi yang menjadi bagian dari syiar beliau.
Kisah Ja’far, Suami Asma Bersama Raja Najasyi
Amr bin Ash yang saat itu menjadi petugas yang akan menarik kembali orang-orang Quraisy di Habasyah menghadap Raja Najasyi As Somah yang saat itu memimpin Habasyah.
“Wahai Amr, apa ini?”
Ini adalah hadiah dari kami. Beberapa orang dari kami lari dari negeri kami dan saat ini berada di negeri Tuan karena mengikuti orang yang sesat dan buruk. Agamanya lebih buruk dari agama Tuan. Maka kembalikanlah orang-orang kami.
Seperti yang dikatakan Rasulullah, Raja Najasyi ini tidak akan menzalimi satu orang pun di sisinya :
“Aku tidak akan mempercayai berita dari satu sisi saja, maka panggil dulu mereka.”
Ketika dipanggil, datanglah Ja’far dan saat itu juga didampingi oleh Asma binti Umais. Perkara ini tentu sangat pelik.
Ja’far menjelaskannya dengan runtut.
“Tuan Raja kami dahulu adalah kaum yang hina, kami menyembah berhala (saat itu Raja Najasyi menganut agama Nasrani, sehingga menyembah berhala bagi mereka adalah sesuatu yang buruk), kami memakan bangkai, minum khamr, membunuh anak perempuan kami, melakukan berbagai macam fahisyah dan kekejaman. Sampai datanglah orang pada kami, dia adalah orang yang terpandang nasabnya, kami kenal kebaikannya dan kami menjulukinya Al Amin karena ia jujur dan tidak pernah berdusta, dia mengajak kami untuk menyambung kekerabatan, mengajak kami mengesakan Allah, ia mengajak kami mendirikan salat, menyantuni anak-anak fakir dan memelihara anak yatim. Dan karena kami mengikuti ajaran ini, mereka memusuhi kami. Dan Nabi kami menyuruh untuk pergi ke Habasyah, karena di sana ada seorang Raja yang tidak akan satu pun orang dizalimi di sisinya.”
“Kalau begitu kalian dalam perlindunganku. Wahai Amr, pergilah dan bawa kembali hadiahmu, aku tidak membutuhkanmu.”
Amr kembali ke penginapan dan mengatakan ia akan menghadap Raja Najasyi lagi keesokan harinya dan orang-orang Muslim itu tidak akan bisa mengelak lagi.
Lalu benar, Amr kembali ke hadapan Raja dan meminta rombongan Ja’far dipanggil lagi.
“Mari kita panggil lagi dan mari kita dengar apa pendapat mereka tentang Isa bin Maryam?”
Lalu dipanggilah Ja’far yang sebelum itu sudah bermusyawarah.
Maka saat itu termasuk Asma binti Umais menguatkan Ja’far untuk membicarakan yang sebenarnya.
“Tuanku sebelum saya menjawab pertanyaan ini, izinkan saya untuk membacakan surat dalam AlQuran, yakni surat Maryam yang menceritakan tentang Ibunda dari Isa.”
Dibacakanlah Surat Maryam oleh Ja’far. Saat dibacakan ayat-ayat itu Raja menangis tersedu-sedu termasuk uskup-uskupnya.
“Sesungguhnya Isa bin Maryam sebagaimana yang dijelaskan oleh Nabi kami, ialah seorang Nabi yang mulia, yang berasal dari Ibu yang suci dan mulia, di mana ditiupkan ruh Allah ke dalam rahimnya tanpa sentuhan seorang laki-laki. Dia adalah hamba dan Rasul yang mulia di sisi kami.”
Karena para uskup merasa ini kok tidak disebut sebagai anak sesembahan? Kok tidak disebut sebagai anak Tuhan? Para uskup memberikan kode pada Raja, namun Raja tidak menggubrisnya.
“Apa yang kamu katakan tentang Isa tidak berbeda jauh dengan apa yang saya yakini. Maka tinggallah di negeri ini, wahai Amru segera pulanglah ke Mekkah dan jangan mencoba-coba hal seperti ini lagi.”
Lalu Amr pulang ke Mekkah, dan tersiarlah kabar bahwa Raja Najasyi masuk Islam. Raja Najasyi lebih mementingkan orang asing dibandingkan rakyatnya, mengutamakan agama orang asing dibanding agama di negerinya sendiri, dan fitnah lain yang menyakitkan. Hingga akhirnya para uskup juga tersulut untuk memberontak.
Lalu para uskup mencoba untuk mengangkat adik Raja Najasyi sebagai penggantinya dan terjadilah peperangan sengit saat itu. Sampai-sampai Raja Najasyi lari dan singgah di sungai Nil biru, supaya jika terjadi apa-apa para pengikutnya bisa langsung menyeberang.
“Kalau aku kalah, kalian bisa pergi segera dari sini. Namun jika aku menang, kalian aman.” ujar Raja Najasyi.
Saat itu Raja Najasyi menuliskan kalimat Laa ilaa ha illa Allah kemudian kertas kalimat Laa ila ha illa Allah tersebut disimpan dalam sakunya, lalu beliau berpidato di hadapan rakyatnya yang tengah memberontak :
“Demi Allah, tidak pernah keyakinanku berubah. Sama seperti yang ada terpatri di sini, di sini! Kalian jangan pernah meragukanku.”
Saat itu Raja Najasyi sudah Islam, sudah bersyahadat, ia mengucapkan kalimat tersebut dengan membawa kalimat Laa ilaa ha illa Allah dalam dadanya.
Raja Najasyi juga menjadi wali bagi pernikahan Rasulullah dengan Ummu Habibah. Saat itu Wali dari Rasulullah adalah Ja’far, adapun Raja Najasyi sebagai Ulil Amri yang menjadi wali hakim dari mempelai perempuan (karena Ayah dari mempelai perempuan saat itu masih belum masuk Islam).
Inilah yang menjadi landasan fikih pernikahan jarak jauh, antara Madinah dan Habasyah.
Peran Raja Najasyi saat itu sangat berarti bagi umat Muslim. Hingga saat Raja Najasyi wafat, kabar tersebut tersiar sampai ke Madinah. Sehingga Rasulullah pun melaksanakan salat ghaib di Madinah. Ini juga menjadi salah satu fikihnya sakat ghaib.
Kerahasiaan Raja Najasyi ketika masuk Islam memang lebih menyelamatkan kaum Muslimin saat itu daripada ia harus mengungkapkan yang sebenarnya.
Asma saat itu dalam keadaan yang penuh ketidakstabilan, penuh ancaman, dan penuh penderitaan. Padahal ia berada di Habasyah cukup lama, yaitu sekitar 13 tahun. Pada tahun ke-11 ada beberapa yang sempat kembali ke Mekkah termasuk Usman bin Affan, Zubair bin Awwam, dan beberapa lagi karena ada isu gharanib atau orang-orang yang ada di Mekkah dan Madinah sudah banyak yang masuk Islam.
Asma yang Setia Menjadi Pendamping Ja’far
Sementara Asma selalu mendampingi Ja’far selaku pemimpin para sahabat Rasulullah di Habasyah.
Akhirnya tahun ke-7 mereka berlayar ke Madinah menggunakan kapal. Begitu sampai di Madinah, salah satu yang menjadi Asma binti Umais adalah Sayyidah Hafsah.
Suatu hari Asma bertemu Sayyidah Hafsah dan bertemu dengan Sayyidina Umar bin Khattab. Sayyidina Umar bertanya, “siapa ini?”
“Ini adalah Asma binti Umais.” Ujar Sayyidah Hafsah.
“Ohh orang yang hijrah menggunakan kapal ya. Kalian hijrahnya telat sekali, kita sudah lama di sini, ini sudah tahun ke-7 kalian baru datang.”
“Betul, kalian lebih dulu hijrah daripada kami. Tetapi kalian bersama dengan Rasulullah, anak-anak kalian mendapatkan makanan, mendapatkan pengajaran langsung dari Rasulullah. Namun kami berada di negeri yang jauh, kami ditakut-takuti, karena Allah dan RasulNya kami menderita, sementara kami mengadu pada Allah. Sementara kalian berada bersama Rasulullah. Demi Allah ya Umar, saya tidak terima, akan saya adukan pada Rasulullah.”
Lalu Asma mengatakannya pada Rasulullah:
“Kamu betul. Katakan padanya juga, sesungguhnya tidak ada yang lebih berhak atas aku daripada kalian, karena mereka berhijrah satu kali sementara kalian berhijrah dua kali.”
Kedekatan Rasulullah dan Ja’far
Ketika Asma dan Ja’far tiba di Madinah, saat itu pula umat Muslim baru saja memenangkan perang Khaibar. Lalu Rasulullah bersabda:
“Demi Allah aku tak tahu kebahagiaanku karena apa, apakah aku bahagia karena memenangkan perang Khaibar atau karena kedatangan Ja’far.”
Rasulullah senang sekali saat Ja’far datang, hingga putra-putra Ja’far dan Asma diperlakukan seperti anak Rasulullah sendiri. Perpisahan sekian lama tersebut menjadikan kerinduan Rasulullah terobati.
Saat itu pula Ja’far langsung mengemban tugas berat, yakni sebagai panglima perang ketika akan menyongsong pasukan Romawi.
Saat itu pasukan Romawi didukung oleh pasukan Kristen Arab dari Syam hingga pasukannya berjumlah 200.000, sementara umat Islam hanya berjumlah 3000 pasukan.
Lalu di pertengahan perjalanan, salah satu panglima mengatakan : “Ayo kita kembali saja dan mengadu pada Rasulullah, karena ini pasukannya tidak seimbang. Masa 3000 lawan 200.000?”
Namun Ja’far mengatakan : “Kalau Rasulullah sudah menugaskan kita, bukankah beliau sudah tahu apa yang akan kita hadapi. Jadi kita tidak usah kembali ke Rasulullah, karena Rasulullah pasti sudah tahu. Ini memang tugas kita, mari kita hadapi apa yang ada di hadapan kita.”
Ja’far lah yang paling mengerti Rasulullah saat itu, sehingga panglima utama Zaid bin Haritsah mengatakan, “aku setuju dengan Ja’far. Kita tetap jalan.”
Sehingga saat itu mereka tetap menghadapi pasukan Romawi. Sang Zaid bin Haritsah yang memegang panji-panji langsung gugur syahid saat itu, saking dahsyatnya serangan Romawi seperti gelombang air yang menelan mereka. Begitu Zaid roboh, Ja’far segera memegang panji-panji tersebut dan bertarung sekuat tenaga, hingga dikatakan ada 73 luka dalam tubuh bagian depan Ja’far.
Begitu dahsyatnya pertarungan itu, begitu kuatnya Ja’far menahan serangan hingga gugur dan syahid. Rasulullah mengatakan saat itu ruh Ja’far disambut langsung oleh burung dan dibawa terbang ke surganya Allah. Lalu di surga, Allah memberikan Ja’far sepasang sayap di mana dengan sayap itu, Ja’far bisa terbang kemanapun ia suka di dalam surga.
Sehingga Ja’far, suami Asma bin Umais dijuluki dengan At-Thayyar atau burung surga.
Rasulullah kemudian mendatangi keluarga Ja’far dan juga istrinya, Asma binti Uwais, “Bersabarlah kalian, sesungguhnya Ja’far telah menunaikan amanah dan ia telah syahid.”
Asma menjadi sangat sedih hingga Rasulullah kemudian memerintahkan para tetangga untuk membawakan banyak keperluan untuk keluarga Ja’far.
Asma binti Umais, Pendamping Dua Syahid dan Dua Khalifah
Lalu setelah masa iddahnya Asma binti Umais selesai, Sayyidina Abu Bakar As-Shidiq melamar Asma. Hingga kemudian Asma memiliki anak dari keduanya, yakni Muhammad bin Ja’far dan Muhammad bin Abu Bakar.
Keduanya tumbuh menjadi pemuda yang kuat dan juga mulia. Sampai ketika Sayyidina Abu Bakar syahid, Asma dinikahi oleh Sayyidina Ali bin Abi Thalib. Saat bersama Ali, Muhammad bin Ja’far dan Muhammad bin Abu Bakar saling mengungguli, hingga berkata,
“Aku yang paling mulia daripada kamu. Karena Ayahku lebih mulia daripada Ayahmu.”
Ali memerintahkan Asma untuk menghakimi mereka berdua. Lalu berkatalah Asma,
“Pemuda yang paling utama dalam Islam adalah Ja’far. Lalu orang tua yang paling utama dalam Islam adalah Abu Bakar As Shidiq.”
Lalu Ali bin Abi Thalib bertanya, “bagaimana denganku?”
Asma tersenyum dan menjawab, “engkau memang yang ketiga, tapi kaulah yang paling bahagia sekarang.”
Tadi sebenarnya aku kesal, tapi jika kau tidak mengatakan seperti yang kamu katakan aku akan marah, karena memang mereka lah yang utama.
Asma juga menjadi pintu Fiqh wanita tentang bagaimana istri ketika tamu-tamu suaminya datang.
Karena pada saat itu Abu Bakar berada di rumah Asma, lalu datanglah Rasulullah dan laki-laki dari Bani Hasyim (saudara-saudara Ja’far), lalu Abu Bakar berkata, “Ya Rasulullah, sebenarnya aku tidak ridha jika istriku melayani tamu-tamu dari Bani Hasyim.”
Maka saat itulah terdapat Fiqh wanita bahwa janganlah seorang perempuan menemui tamu-tamu suaminya jika suaminya tidak ridha. Baiknya seorang perempuan menerima tamu suaminya dengan didampingi oleh suaminya, meskipun itu kerabat.
Itulah salah satu kebaikan dari Sayyidah Asma binti Umais.
Selain itu Sayyidah Asma juga pernah bertanya pada Rasulullah tentang sebab kenapa di Al Quran konteksnya hanya menyebut laki-laki saja, kenapa perempuan tidak disebut? Pertanyaan Sayyidah Asma inilah yang menjadi asbabun nuzul Surat Al Ahzab ayat 53 bahwa semua laki-laki yang Muslim juga perempuan yang Muslim memiliki kedudukan yang sama, semua bisa menjadi mulia di mata Allah.
Itulah kisah Sayyidah Asma, istri dari dua syahid yakni Ja’far dan Abu Bakar, dan istri dari dua khalifah, yakni Abu Bakar dan Ali bin Abi Thalib.
Ikuti juga kisah Perempuan Peradaban lainnya di sini yuk!