Episode Perempuan Peradaban kali ini kita akan membahas tentang kisah Ummu Sulaim Binti Milhan. Masih sama, disampaikan oleh Ustadz Salim A Fillah dalam rangkaian serial Perempuan Peradaban yang saya rangkum untuk teman-teman semuanya, semoga bermanfaat dan menambah khazanah ke-Islaman kita ya!
Sebagaimana Ummu Haram, beliau adalah Ummu Sulaim binti Milhan, dan banyak riwayat yang mengatakan tentang nama asli beliau. Tetapi kita tidak bisa memastikan mana nama asli beliau sebelum berkuniah : Ummu Sulaim.
Sebelum hijrah atau pada masa jahiliyah yakni sebelum datangnya Rasulullah, Ummu Sulaim sudah menikah dengan lelaki Yatsrib bernama Malik bin An-Nadhar. Nah, dari pernikahan inilah lahir putra beliau yang bernama Anas bin Malik bin An-Nadhar.
Jadi sahabat Anas bin Malik an Nadhar adalah putra dari pernikahan pertama Ummu Sulaim dengan Malik bin An-Nadhar.
Lalu ketika datang Rasulullah ke Madinah dan Ummu Sulaim menerima Islam, ternyata suaminya sangat sulit diajak untuk masuk Islam dan mengikuti agama tauhid. Padahal sudah disampaikan dengan kelembutan dan juga alasan-alasan yang logis dan berilmu.
Namun Malik tetap memilih dalam kekufuran. Bahkan ketika Rasulullah datang ke Madinah, Malik tidak sudi berada dalam satu kota bersama dengan Rasulullah hingga ia keluar dari Yastrib dan berpindah ke negeri Syam yang jauh di Utara. Bahkan meninggal dalam keadaan masih musyrik di sana.
Persembahan Terbaik Ummu Sulaim Binti Milhan Untuk Rasulullah dan Ummat Islam
Ini merupakan salah satu kisah sebelum akhirnya Ummu Sulaim menikah dengan seorang tokoh yang luar biasa. Yakni yang kita kenal sebagai Abu Thalhah Al-Anshari.
Di balik pernikahan tersebut ada satu kisah yang menarik. Yakni pertama-tama ketika Rasulullah datang hijrah ke Madinah, orang-orang berlomba-lomba untuk memberikan hadiah pada Rasulullah. Ada yang datang membawakan kambing, kurma, kismis, pakaian, kain-kain, menawarkan tempat tinggal dan berbagai hadiah lainnya.
Lalu saat itu Ummu Sulaim menggandeng anaknya yang kecil dan datang kepada Rasulullah seraya berkata :
Ya Rasulullah sesungguhnya orang-orang datang kepada Engkau dengan membawa berbagai hadiah berharga. Sedangkan aku tidak punya apapun yang bisa diberikan padamu sebagai hadiah. Aku hanya punya putraku, Anas bin Malik. Sesungguhnya aku berharap, aku hadiahkan ia kepadamu, semoga Engkau berkenan menjadikannya sebagai khadimmu, sehingga ia bisa mendapatkan ilmu yang Allah turunkan padamu, dan juga mendapat keberkahan dari keluargamu.
Hal tersebut merupakan salah satu contoh teladan, bahwa ketika kita tahu ada orang-orang yang punya keberkahan dan keilmuan yang luar biasa dan kita menginginkan anak kita bisa seperti dirinya, maka boleh kita memberikan anak kita sebagai khadim baginya. Agar anak kita bisa mendapatkan teladan dan ilmu pengetahuan yang luas seperti gurunya.
Anas bin Malik akhirnya bisa menjadi bayang-bayang Rasulullah. Tidak hanya belajar dan mengambil ilmu dari Rasulullah, tapi Anas bin Malik juga memiliki sifat dan teladan seperti Rasulullah. Sebagaimana yang kita ketahui bahwa Anas bin Malik menjadi periwayat hadist yang paling banyak dari Rasulullah dan menjadi rujukan para sahabat Nabi.
Para sahabat juga mempercayainya sebagai contoh-contoh dari Rasulullah dalam menghadapi berbagai peristiwa dan kegiatan sehari-hari selain Ummahatul Mukminin. Anas bin Malik juga meriwayatkan bagaimana selama 10 tahun beliau menjadi pelayan Rasululllah :
Selama 10 tahun aku menjadi pelayan Rasulullah, maka selama 10 tahun itu pula beliau belum pernah mengatakan ‘kenapa kau melakukan ini’ dan beliau juga belum pernah mengatakan padaku ‘kenapa kau tidak melakukan itu’.
Sulit dibayangkan bukan? Karena kita sendiri, jangankan kepada pembantu, kepada istri dan anak saja kita sering mengatakan ‘kenapa kamu lakukan ini’ dan ‘kenapa kamu tidak lakukan itu’. Karena kita juga menganggapnya sebagai suatu hal yang sangat wajar dan normal.
Sementara Rasulullah selama bersama Anas bin Malik tidak pernah mempertanyakan apa yang dilakukan oleh Anas bin Malik.
Artinya tidak pernah mengungkit kesalahan dan juga tidak pernah menyalahkan ketika Anas bin Malik tidak melakukan sesuatu karena ke-alpha-an, karena kelalaian, dan lain sebagainya.
Ini salah satu teladan yang paling berat dari Rasulullah untuk menjaga lisan agar tidak bertanya kenapa tidak melakukan ini dan kenapa tidak melakukan itu. Ini cerita dari Anas bin Malik sendiri.
Inilah salah satu persembahan terbesar dan terbaik dari Ummu Sulaim, bukan hanya pada Rasulullah, tapi juga untuk ummat Islam.
Kita bisa membayangkan dari setiap hadist yang diriwayatkan Anas bin Malik diamalkan oleh umat Islam dari zaman ke zaman, menjadi rujukan dari berbagai amal shalih dan ibadah dari zaman ke zaman, dan Anas bin Malik mendapatkan aliran pahalanya. Keberkahan dan kebaikan yang tak pernah putus pun mengalir untuk Anas bin Malik sampai akhir zaman.
Sedangkan yang memberikan Anas bin Malik sebagai hadiah, menjadi wasilah agar Anas bin Malik menjadi mata air ilmu bagi umat tentu juga mendapatkan bagian dari pahala dan keberkahannya, dan itu adalah Ummu Sulaim Radhiallahu ‘anha.
Lalu ketika suami Ummu Sulaim menceraikannya dan pergi ke negeri Syam, maka Ummu Sulaim menjadi seorang perempuan yang penuh pesona dan daya tarik karena kecerdasan dan juga kepintarannya. Datanglah pria bangsawan melamar Ummu Sulaim dari kalangan orang-orang Yastrib. Nama pria ini adalah Abu Thalhah.
Kisah Ummu Sulaim dan Abu Thalhah
Saat Abu Thalhah melamar Ummu Sulaim, lagi-lagi kita mendapatkan keteladanan dari perempuan peradaban luar biasa.
Ketika itu Abu Thalhah masih seorang musyrik/belum beriman kepada Allah dan RasulNya. Ketika lamaran dari Abu Thalhah ini datang, Ummu Sulaim berkata seperti ini :
Wahai Abu Thalhah, sesungguhnya engkau ini adalah seorang lelaki yang tidak pantas untuk ditolak, baik dari nasabmu, hartamu, maupun dari rupa dan juga perilakumu. Hanya saja ada satu penghalang di antara kita. Penghalang itu adalah karena aku seorang Muslimah dan engkau seorang lelaki Musyrik. Jika engkau berniat menikahiku, dan bila engkau berkenan maka cukuplah engkau masuk Islam dan keIslamanmu itu menjadi mahar untukku. Aku tidak akan meminta mahar apapun selain itu.
Ini menunjukkan perhatian Ummu Sulaim yang luar biasa untuk dakwah Rasulullah dan Islam. Hal ini menunjukkan bahwa Ummu Sulaim merupakan perempuan dengan karakter yang kuat, kemandirian, menunjukkan independensi dalam bersikap dan berpikir.
Tantangan Ummu Sulaim ini membuat Abu Thalhah merenung selama tiga hari. Apakah ia akan melanjutkan dan menerima tantangan Ummu Sulaim tersebut atau tidak.
Lalu Abu Thalhah mempelajari Islam dengan serius selama tiga hari tersebut. Dia bertanya tentang Islam, apa saja yang diajarkan Islam, apa saja pokok-pokok ajarannya dan tata cara beribadah dalam Islam. Sehingga ketika ia masuk Islam ia sudah memahaminya dan dengan kesadaran penuh masuk ke dalamnya.
Jadi tidak hanya demi pernikahan, tapi Abu Thalhah benar-benar mempelajarinya dengan serius dan mempertimbangkannya dengan penuh kesadaran untuk mendapatkan kebenaran dari ajaran Islam itu sendiri hingga Abu Thalhah pun memutuskan untuk masuk Islam dengan keputusan yang seksama. Lalu dengan itu akhirnya Abu Thalhah dan Ummu Sulaim menikah.
Rumah tangga keduanya menjadi salah satu rumah tangga idaman, teladan dan keren di kalangan orang-orang Anshar.
Keberanian Ummu Sulaim mendampingi Abu Thalhah dan Rasulullah di berbagai peperangan juga tidak tertandingi. Mulai dari perang Badar, perang Uhud, Ummu Sulaim senantiasa membawa khadjr (belati) yang dipasang di perutnya. Karena suaminya kahwatir tentang ini, Abu Thalhah berkata pada Rasulullah :
“Ya Rasulullah lihatlah Ummu Sulaim kemana-mana membawa khadjr dan berada di hadapanmu.”
Lalu Rasulullah bertanya pada Ummu Sulaim;
“Wahai Ummu Sulaim apa yang kamu lakukan dengan membawa khadjr itu?”
“Ya Rasulullah, demi Allah, jika ada seorang musyrik yang mendekat ke arahmu, akan aku tikam dengan khadjr ini.”
Hal ini merupakan sisi kepahlawanan yang luar biasa dari Ummu Sulaim. Sementara suaminya terkenal dengan keterampilannya memanah. Jika di kalangan Muhajirin ada Sa’ad bin Abi Waqash, maka di kalangan Anshar ada Abu Thalhah Al Anshari dimana saat perang Uhud beliau terpojok dari serangan kafir Quraisy, Rasulullah bersabda:
“Daripada kalian menembak, tidak kena musuh, maka serahkan anak panah-anak panah kalian pada Abu Thalhah.”
Karena Abu Thalhah ini sangat terkenal dengan ketepatan bidikannya.
Jadi suami istri ini saling bahu membahu berada di sisi Rasulullah dan membela agama Allah. Sang suami membela Rasulullah dengan anak panah-anak panah yang diluncurkannya, sementara sang istri memegang belati dan bersiap di hadapan Rasulullah. Ini kekompakan yang luar biasa dari Abu Thalhah dan Ummu Sulaim.
Sikap Ummu Sulaim Ketika Menghadapi Musibah
Selain kepahlawanan dan keberanian Ummu Sulaim, beliau juga dikenal sebagai perempuan yang mulia karena sikap beliau ketika menghadapi musibah.
Setelah pernikahannya dengan Abu Thalhah, Ummu Sulaim dikaruniai kehamilan oleh Allah. Dari kehamilan tersebut, mereka dikaruniai seorang anak yang diberi nama Abdullah bin Abi Thalhah. Anak ini tumbuh dan qadarullah sakit-sakitan.
Pada suatu hari ketika Abu Thalhah punya urusan perdagangan keluar kota, sang anak sedang sakit di rumah, lalu ia menjadi ragu akan berangkat atau tidak. Namun Ummu Sulaim menguatkan;
Wahai suamiku, berangkatlah. Karena engkau bisa menitipkan putramu pada Zat Yang Maha Kuasa untuk menyembuhkan dan menjaganya, yaitu Allah SWT. Karena kehadiranmu di sini, tanpa izin Allah tidak akan memberikan manfaat maupun mudharat apa-apa. Silakan berangkat, titipkan anakmu kepada Allah.
Ucapan yang luar biasa seorang istri kepada suaminya supaya dia tetap melanjutkan perniagaannya dan agar suaminya merasa tentram hatinya karena anaknya akan dijaga oleh Allah. Akhirnya Abu Thalhah berangkat.
Tidak lama setelah Abu Thalhah berangkat, ternyata anaknya meninggal dunia.
Lalu Ummu Sulaim meminta pembantunya untuk segera membersihkan anaknya dan juga kamarnya, dipakaikan pakaian baru lalu dibaringkan seperti dalam kondisi tidur dengan tenang. Ummu Sulaim juga membersihkan rumah dan memasak makanan kesukaan suaminya, ia juga mandi dan berdandan untuk suaminya. Seakan-akan itu adalah saat-saat mereka sedang berbulan madu setelah pernikahan.
Lalu saat malam datang, Abu Thalhah pulang dan bertanya pada istrinya;
“Bagaimana keadaan anak kita?”
Lalu Ummu Sulaim berkata, “anak kita sudah jauh lebih tenang daripada sebelumnya.”
Lalu Abu Thalhah menengok ke kamar anaknya, dan ia melihat anak itu terbaring dengan pulas, maka Abu Thalhah pun menjadi tenang. Lalu Ummu Sulaim meminta Abu Thalhah untuk segera makan karena sudah malam. Ia pun makan dengan lahap karena itu merupakan makanan kesukaannya dan dimasak dengan penuh cinta oleh istrinya. Ia juga memandangi Ummu Sulaim, kenapa malam ini sangat cantik.
Ummu Sulaim berusaha untuk menyenangkan suaminya saat itu dengan segala khidmahnya.
Saat Abu Thalhah merasa tenang dan puas serta terbaring di ranjangnya, Ummu Sulaim pun mulai bertanya kepadanya :
Wahai suamiku, bagaimana pendapatmu tentang orang yang menitipkan barangnya kepada orang lain sampai batas waktu tertentu. Lalu ketika sudah tiba masanya untuk mengembalikan, si pemilik akhirnya mengambil titipannya tersebut. Menurutmu apakah yang dititipi berhak untuk keberatan?
Abu Thalhah kemudian berkata :
Wahai istriku, tentu tidak pantas bagi orang yang dititipi untuk keberatan ketika titipan itu diambil oleh pemiliknya. Itu adalah sebuah adab yang ditunjukkan oleh orang yang dititipi, kalau pemiliknya menghendaki maka ia juga harus mengembalikannya tanpa keberatan.
Lalu Ummu Sulaim merasa pemahaman Abu Thalhah sudah benar. Lalu Ummu Sulaim mengatakan ;
Wahai suamiku, sesungguhnya anak kita ini milik Allah dan kita hanya dititipi. Dan sekarang sang pemilik tersebut sudah mengambil kembali apa yang dititipkan pada kita.
Maka kagetlah Abu Thalhah, kenapa Ummu Sulaim baru mengatakannya? Setelah ia merasa kenyang, nyaman dan tentram?
Jawaban Ummu Sulaim, “aku tidak ingin ketika engkau pulang ke rumah dalam keadaan lelah, capek dan penuh tekanan dari luar, lalu masih aku tambahi dengan berita duka yang tidak pada waktunya. Maka aku tunggu saat seperti ini sampai engkau tenang dan engkau memahami bahwa hakikatnya anak kita adalah milik Allah dan akan kembali pada Allah.”
Setelah di pagi harinya selesai menguburkan putranya, Abu Thalhah sempat curhat kepada Rasulullah, hingga Rasulullah bertanya :
“Tapi engkau pengantinan kan semalam?”
“Betul ya Rasulllah.”Jawab Abu Thalhah. Lalu Rasulullah berdoa :
“Ya Allah berilah ganti Abu Thalhah dan Ummu Sulaim seorang anak yang lebih baik daripada yang engkau ambil kemarin.”
Tak disangka dari doa Rasulullah tersebut, Ummu Sulaim hamil lagi. Lalu dari kehamilan itu lahirlah seorang putra yang lagi-lagi diberi nama Abdullah bin Abi Thalhah.
Abdullah bin Abi Thalhah yang kedua ini, diceritakan oleh kakak tirinya, yaitu Anas bin Malik, bahwa tidak ada anak yang lebih berkah daripada adikku yang bernama Abdullah bin Abi Thalhah yang lahir dari seorang wanita shalihah yaitu Ibuku Ummu Sulaim dan lelaki shalih yaitu Abu Thalhah. Adikku ini memiliki 7 orang putra, yang kesemuanya adalah para hufadz, para pemikul Al-Quran, para ulama pada zamannya, para fakih di zamannya dan menjadi tumpuan ummat.
Itulah anak yang penuh berkah dari wanita shalihah yang tahu bagaimana menempatkan dirinya ketika mendapatkan musibah dan tahu bagaimana cara terbaik menyampaikan musibah itu pada suaminya.
Hal ini adalah hal luar biasa yang terjadi dari keluarga Ummu Sulaim dan Abu Thalhah.
Tidak hanya Ummu Sulaim, Abu Thalhah juga punya kontribusi besar untuk dakwah Rasulullah pada masa itu. Tidak hanya ikut berperang dan melindungi Rasulullah, Abu Thalhah juga menyumbangkan kebun kurma miliknya untuk fi sabilillah.
Ada banyak sekali pelajaran yang bisa kita ambil dari kisah Ummu Sulaim binti Milhan dan Abu Thalhah ini, semoga menginspirasi kita semua dan menjadikan kita Muslim yang pandai bersyukur, pandai menjaga lisan dan juga ikut mendukung dakwah Islam ke seluruh penjuru dunia.
Semoga bermanfaat! Ikuti juga kisah perempuan peradaban lainnya di sini yaa!