Firdaus divonis gantung karena telah membunuh seorang germo. Meskipun begitu, Firdaus menyambut gembira hukuman gantung itu. Bahkan dengan tegas ia menolak grasi kepada Presiden yang diusulkan oleh dokter penjara. Menurut Firdaus, vonis itu justru merupakan satu-satunya jalan menuju kebenaran sejati.
Ironis. Kalau berbicara soal keadilan untuk perempuan, saya selalu teringat dengan kisah ini. Kisah Firdaus yang dituliskan oleh Nawal el-Saadawi melalui bukunya, Perempuan di Titik Nol.
Perempuan yang membela dirinya, namun terperangkap dalam sebuah hukum yang tak berpihak padanya, pada perempuan yang mengalami kekerasan, hingga pelecehan.
Namun justrru melalui perempuan inilah kita akan bisa melihat kebobrokan masyarakat yang didominasi oleh kaum lelaki, terlebih pada siapa saja yang melecehkan perempuan dengan mudahnya, tanpa rasa bersalah sedikit pun.
Suara Yang Dibungkam
Mari saya ceritakan sedikit tentang banyak perempuan seperti Firdaus yang terpaksa harus melakukan hal buruk karena kondisinya yang terdesak. Namun, tetap saja masyarakat banyak yang menghakimi perempuan tersebut dengan semena-mena.
Meskipun buku Perempuan di Titik Nol tersebut mendapatkan begitu banyak reaksi negatif di tahun-tahun sebelum revolusi Mesir, namun tetap saja kisah Firdaus ini patut kita jadikan pelajaran. Bahwa tubuh kita adalah milik kita, dan sesungguhnya yang membuat perempuan menjadi “tidak bernilai” adalah karena ayahnya, pamannya, atau bahkan adik laki-lakinya sendiri. Ini akhir zaman, semakin banyak kasus seperti itu yang kita temui.
Salah satu contoh yakni satu kasus terjadi di Aceh. Sekumpulan pelajar dijebak oleh jaringan pelaku untuk mengirimkan gambar telanjang mereka melalui media sosial. Kemudian dieksploitasi secara seksual lewat internet dan dipaksa melacur di dunia nyata.
Tak berhenti di situ, di Bojonegoro, Jawa Timur, seorang guru memotret para korban dalam keadaan telanjang, lalu menjualnya di internet. Ia kemudian juga memaksa para korban untuk melakukan kegiatan seks baik di internet maupun saat tatap muka.
Masih belum cukup, ada juga penyebaran foto telanjang 14 orang remaja putri di Lampung Selatan. Mereka berkenalan dengan pelaku di media sosial dan kemudian diancam dan dibujuk untuk berfoto telanjang. Ancaman dan tindakan tersebut dilakukan dengan tujuan memperoleh keuntungan seksual dan finansial dari korban.
Lalu ada juga kasus bermotif dendam, yakni pelaku menyebarluaskan konten intimnya dengan korban dalam rangka mencemarkan nama baik korban, membalas dendam, atau memperoleh keuntungan finansial. Salah satu contoh kasusnya adalah penyebaran foto intim mantan pacar yang dilakukan mahasiswa di Banyumas, Jawa Tengah.
Pelakunya biasanya adalah suami, mantan suami, mantan pacar, selingkuhan, maupun atasan korban.
Ada Firdaus-Firdaus yang lain, yang kisahnya mungkin tak muncul ke permukaan. Perempuan-perempuan ini tak tahu harus bagaimana, takut dan putus asa, tak tahu mengadukan nasib pada siapa, dan tak tahu bahwa keadilan sesungguhnya bisa diperjuangkan untuk mereka.
Data Kekerasan Seksual di Indonesia Sepanjang 2022-2023
Dilansir dari komnasperempuan.go.id, sebanyak 339.782 total pengaduan adalah berbasis gender. Kekerasan di ranah personal masih mendominasi pelaporan kasus KBG, yaitu 99% atau 336.804 kasus.
Pada pengaduan di Komnas Perempuan, kasus di ranah personal mencapai 61% atau 2.098 kasus. Untuk kasus di ranah publik, tercatat total 2978 kasus dimana 1.276 di antaranya dilaporkan kepada Komnas Perempuan.
Sementara itu, kasus kekerasan di ranah negara hanya ditemukan di Komnas Perempuan, dengan peningkatan hampir 2 kali lipat, dari 38 kasus di 2021 menjadi 68 kasus di 2022.
Data pengaduan Komnas Perempuan sepanjang tahun 2022 menunjukkan kekerasan seksual sebagai bentuk kekerasan terhadap perempuan yang dominan (2.228 kasus/38.21%) diikuti kekerasan psikis (2.083 kasus/35,72%).
Sedangkan data dari lembaga layanan didominasi oleh kekerasan dalam bentuk fisik (6.001 kasus/38.8%), diikuti dengan kekerasan seksual (4102 kasus/26.52%%). Jika dilihat lebih terperinci pada data pengaduan ke Komnas Perempuan di ranah publik, kekerasan seksual selalu yang tertinggi (1.127 kasus), sementara di ranah personal yang terbanyak kekerasan psikis (1.494).
Selain itu ada ribuan kasus yang tercatat dan ditangani oleh lembaga layanan. Di antara 9806 kasus yang ditangani oleh Lembaga layanan, jenis kekerasan terhadap perempuan yang tercatat:
Kasus yang paling banyak terjadi di ranah personal sebanyak 8172 kasus. Yakni diantaranya kasus kekerasan dalam pacaran (3528 kasus), kekerasan terhadap istri (3205 kasus), kekerasan terhadap anak perempuan (725 kasus), KDRT RP lain (421 kasus), kekerasan mantan pacar (163 kasus), kekerasan mantan suami (47 kasus) dan kekerasan lainnya di ranah personal 83 kasus. Bentuk kekerasan yang paling banyak terjadi adalah kekerasan fisik.
Lalu ada juga kasus di ranah digital. Jumlah kasus Siber atau digital di ranah personal sebanyak 821 kasus yang didominasi kekerasan seksual dan terbanyak dilakukan oleh mantan pacar (sebanyak 549 kasus) dan pacar (230 kasus). Sementara kasus Siber di ranah publik terbanyak dilakukan oleh “teman media sosial” sebanyak 383 kasus.
Meski demikian, angka kasus siber yang dilaporkan dari lembaga layanan secara keseluruhan mengalami peningkatan sebanyak 112 kasus, dimana sebagian besar pelaku kasus siber ini adalah orang tak dikenal, pacar atau mantan pacar.
Panjangnya daftar kasus yang telah disebutkan oleh Komnas Perempuan di atas begitu menyayat hati saya sebagai perempuan. Namun, saya pun hanya sebatas : ya Allaah kok bisa ya? Lalu apa? Sebisa mungkin menyuarakan kasus-kasus ini agar cepat selesai, korban ditangani dengan baik dan bisa pulih seperti sedia kala.
Apalagi kita tinggal di era digital, dimana mana yang viral, mana yang banyak mendapatkan perhatian masyarakat, itulah yang akan selesai lebih cepat.
Upaya Hukum yang Bisa Dilakukan Oleh Korban
Penanganan kasus kekerasan berbasis gender online di Indonesia masih sangat terbatas karena belum ada payung hukum yang jelas. Kemampuan aparat penegak hukum dalam menangani kasus-kasus ini pun masih kurang. Sehingga tak jarang banyak korban justru malah dikriminalisasi karena melapor.
Terlepas dari kekurangan tersebut, ada beberapa tindakan yang bisa dilakukan individu ketika menemukan bahwa dirinya menjadi korban kekerasan berbasis gender online berdasarkan panduan dari SAFENet (Southeast Asia Freeedom of Expression Network), salah satu lembaga swadaya masyarakat yang bergerak di bidang perlindungan hak kebebasan berekspresi dan perlindungan data pribadi di Asia Tenggara.
- Pertama Korban perlu menyusun kronologi kasusnya untuk keperluan pelaporan.
- Kedua Menyimpan barang bukti berupa tangkapan layar gambar atau percakapan, rekaman suara atau video.
- Ketiga Memutuskan komunikasi dengan pelaku apabila sudah cukup mengumpulkan bukti. Sebagai tambahan, penting bagi korban untuk melakukan konsultasi psikologis dalam rangka memulihkan dan memperkuat korban selama melakukan proses pelaporan.
- Keempat Pada tahap pelaporan ke jalur hukum, maka penting untuk melakukan pemetaan risiko. Pada tahap ini penting bagi korban dan pendampingnya memetakan opsi penyelesaian kasus dan risiko apa saja yang akan dihadapi korban. Misalnya apabila korban mengajukan laporan ke polisi, maka korban harus siap untuk berhadapan dengan proses interogasi yang cenderung melelahkan dan panjang.
- Kelima Langkah selanjutnya adalah melaporkan pelaku ke platform digital terkait. Setelah itu, korban mengajukan kasus kepada aparat penegak hukum dengan menyertakan berkas bukti yang telah dikumpulkan.
Beruntungnya, pada Juni 2020 Justitia Avila Veda melalui cuitannya, dengan dukungan semesta tentu saja, mampu memberikan bantuan secara nyata.
Kicau Justitia Avila Veda yang Terdengar di Seluruh Negeri
Mulainya sekitar 2019-2020, dan itu awal mulanya tidak pernah direncanakan untuk membuat satu kolektif gitu. Saya cuma ngetweet aja, kalau misalnya teman-teman ada yang membutuhkan diskusi atau konsultasi terkait kekerasan seksual, boleh DM aku atau boleh email.
“Aku merasa bahwa kekerasan seksual itu terjadi di sekitar kita, ada di dekat kita. Aku juga lihat orang-orang ini tidak tahu apa yang harus mereka lakukan.” papar kak Veda, begitu panggilan akrabnya di sesi wawancara.
Munculnya konsultasi kolektif itu sendiri, karena ada banyak sekali respon positif. Lalu ada teman pengacara yang menghubungi Kak Veda dan menawarkan untuk bisa konsultasi gratis juga untuk korban-korban kekerasan seksual ini.
Veda sendiri adalah lawyer, jadi memang punya background di sana. Ketika ditanya apa sebenarnya yang membuat Veda begitu gigih memperjuangkan para korban dan membantunya untuk bangkit?
Kepedulian Penyintas Untuk Memperluas Akses Keadilan Untuk Perempuan
Salah satu yang mendorong kepedulian Veda adalah pengalaman pahitnya di masa lalu saat menjadi mahasiswa. Veda mengalami kekerasan seksual yang dilakukan oleh atasannya sendiri. Kala itu Veda menjadi peneliti lepas.
Sebagai perempuan yang memiliki latar belakang hukum dan akses kepada pihak-pihak yang mendukungnya, Veda berhasil melewati masa suram tersebut dan membuat pelaku diboikot dari komunitas HAM di Indonesia.
“Saya akhirnya aktif membantu orang-orang terdekat saya yang juga menjadi korban. Tapi saya sadar, akses atas keadilan ini harus diperluas, khususnya untuk menyasar orang-orang yang berada jauh di luar lingkaran saya,” ungkap Veda kepada kumparan bulan Juni lalu.
Yang diberikan Veda untuk para korban yang jumlahnya mungkin ribuan di luar itu adalah gratis. Veda tidak memungut sepeser pun biaya untuk itu.
Meskipun dilakukan secara daring, alhamdulillah sudah ada 50 orang relawan yang bergabung bersama Veda untuk melakukan konsultasi online. Lalu jika misalnya nanti butuh pendampingan hukum yang komprehensif, seperti harus dirujuk ke unit bantu hingga ke tingkat Kementerian Perempuan dan Perlindungan Anak, team Veda siap untuk itu. Bahkan Veda juga membuka diri untuk memberikan pendampingan di persidangan.
Awal Mula Pembentukan Kolektif Advokat untuk Keadilan Gender (KAKG) Untuk Keadilan Puan
Kolektif Advokat untuk Keadilan Gender atau disebut KAKG merupakan jasa konsultasi dan pendampingan bagi korban kekerasan seksual yang berbasis teknologi. Tak hanya program hukum, program ini juga menyediakan jejaring penyedia jasa pemulihan psikologis, medis, dan sosial yang dibutuhkan korban selama penyelesaian perkara.
Dari cuitan saya itu memang banyak sekali DM dalam beberapa jam (ada 50 lebih kisah yang ingin dikonsultasikan). Waktu itu sudah mulai pandemi. Kekerasan gender online saat itu juga sangat tinggi kasusnya. Lalu saya berpikir kayaknya gabisa nih kalo tidak terstruktur. Saya pun berpikir untuk membuat lembaga, ada organisasi, sehingga penanganan lebih akuntable dan lebih profesional.
Sejauh ini sudah ada 200-an kasus yang dibantu oleh tim KAKG, dan sudah ada beberapa putusan pengadilan juga yang keluar.
Semoga yaaa mereka memang merasa terbantu, karena aku juga tidak mau overclaiming, papar Veda dengan tetap rendah hati.
Tujuannya sih sebagai perempuan yang ada di negara yang sistem hukumnya kurang ramah pada perempuan, lalu peraturan soal perempuan baru-baru ini saja yang progresif, ditambah aku juga punya adik-adik perempuan. Aku melakukan ini untuk mendorong agar terbentuk lingkungan yang lebih aman.
Persoalan yang didiskusikan dalam team KAKG ini sifatnya beragam. Mulai dari anak-anak sampai ke usia dewasa (60 tahun) juga ada. Dari sisi ekonomi juga variatif, mulai dari ekonomi rendah, menengah, dan tinggi.
Asa yang Dinyalakan Oleh Justitia Avila Veda
Persoalan-persoalan yang diselesaikan oleh team KAKG tentu saja bukannya tanpa hambatan.
Veda mengungkapkan, bahwa ada juga yang kemudian ingin berhenti untuk memperkarakan kasusnya karena merasa prosesnya terlalu berat. Sedangkan korban ingin proses pemulihan psikologisnya terlebih dahulu tidak terganggu. Sedangkan proses hukum justru memberatkan proses pemulihan psikologis mereka.
“Ada kayak : kapan kasus itu kita tutup. Karena dalam pendampingan itu juga tergantung korban. Kita dalam posisi yang mensupport, bukan mengarahkan,” pungkas Veda.
Dari sisi psikologis, kak Veda juga menggandeng mitra psikologis untuk menangani pemulihannya.
Kasus gender online yang memang secara khusus ditangani oleh tim KAKG sejauh ini telah menerima kasus-kasus seperti penyebaran konten intim, stalking, dan juga data pribadi.
Yang namanya kekerasan seksual tidak harus bertemu face to face, tapi bisa juga melalui daring, dan itu mengganggu banget secara psikologis bagi korbannya. Sampai sekarang masih ada tentu saja.
Aspek Sumber Daya Manusia dalam tim KAKG inilah yang sampai saat ini masih dipikirkan untuk bisa dibenahi. Ditambah KAKG juga belum bisa cover di luar Indonesia.
Misal ada kasus di luar pulau Jawa apalagi yang aksesnya agak sulit, Veda akhirnya harus mencari partner yang lebih dekat, dan tentu saja tidak di semua kota yang bisa menjadi partner KAKG.
Lalu tentu biaya juga, yang namanya litigasi tentu sangat mahal biayanya dan itu membutuhkan proses yang panjang, setidaknya setahun untuk bisa diproses di persidangan sampai selesai. Apalagi KAKG tidak hanya mengcover bantuan hukum, tapi juga bantuan psikologis.
Lalu apa harapan Justitia Veda ke depannya?
Aku sih berharap semua orang lebih banyak tahu tentang apa yang kita berikan. Ketika merasa tidak tahu harus berbicara pada siapa, apalagi tentang isu ini, aku berharap KAKG (Kolektif Advokat untuk Keadilan Gender) bisa diajak untuk menjadi teman bicara.
Sampai saat ini, Veda dan kawan-kawannya telah menerima lebih dari 200 aduan. Sekitar 80% di antaranya merupakan kasus kekerasan yang berkaitan dengan teknologi. Layanan konsultasi mereka bisa diakses melalui media sosial Instagram dan TikTok KAKG.
Atas kepeduliannya itu, Veda meraih penghargaan SATU Indonesia Awards 2022 bidang kesehatan.
Justitia Avila Veda, Inisiator Kolektif Advokat untuk Keadilan Gender (KAKG) dan program ‘Sahabat Korban Kekerasan Seksual’ ini harus kita dukung bersama ya. Agar para korban kekerasan seksual di luar sana bisa lebih “melek hukum” dan tahu harus bicara dengan siapa jika hal yang kita takuti bersama itu terjadi.
Jangan takut, lawan!
Source:
idntimes
radioidola.com
newsrepublika.co.id
komnasperempuan.go.id
https://theconversation.com/kekerasan-seksual-di-internet-meningkat-selama-pandemi-dan-sasar-anak-muda-kenali-bentuknya-dan-apa-yang-bisa-dilakukan-152230
law.ac.ui.id
Memang harus ada wanita-wanita tangguh yang berani bersuara seperti Justitia, agar nasib kaum perempuan dibela dan diberi keadilan, sukses terus ya, kak, dengan prigram KAKG nya.
Tidak mudah menyuarakannya, tetapi siapa lagi yang emmbela diri ini jika bukan diri kita sendiri.
Walaupun perempuan itu lemah, tetapi kita juga butuh keadilan
Keren kak Veda, proud of you
Melihat data kekerasa seksual di negeri ini memang bikin hati teriris. Melalui mba Veda dan KAKG, perempuan juga bisa bersuara dan mendapatkan keadilan. Tak banyak yang berani speak up seperti mba Veda.
wah keren juga ya kak. terkadang ranah sprti ini yang belum terjangkau luas, disamping korbannya rawan diskriminasu, lebih cenderung menyesuaikan dan sedikit bersuara. semoga dengan adanya program ini bisa merangkul semuaa
Salut buat mba Veda dan KAKG nya. Semoga makin banyak organisasi seperti ini dan makin banyak perempuan para korban berani speak up atas kasus yang dialaminya.
Nyesek banget. Dan kekerasan sexual pun ada dalam bentuk verbal kan ya? Sebagai perempuan i feel what the victims had to go through. It’s so sad