Edukasi Seksual pada Anak dan Apa yang Perlu Diketahui di Usianya

Berbicara soal edukasi seksual pada anak, saya jadi ingat ketika Isya memberikan pertanyaan seputar tubuhnya ketika dimandikan. Agak bingung juga sih menjawab pertanyaan anak soal ini, namun saya ingat seorang psikolog mengatakan bahwa edukasi seksual pada anak itu juga penting lho dikenalkan sejak dini.

Membahas edukasi seksual pada anak sedari dini merupakan salah satu langkah untuk menyelamatkan anak dari predator seks yang mengancam keselamatan dan keamanan mereka. Selain itu, juga mengecilkan risiko anak memasuki pergaulan bebas atau berada dalam hubungan yang toxic. Begitulah setidaknya kata Ibu Psikolog Samanta Elsener.

Manfaat Memberikan Edukasi Seksual pada Anak

Terbuka dan memberikan edukasi seksual pada anak juga menjadi sarana untuk mengarahkan dan mengajarkan anak untuk membina kebersihan organ reproduksi. Bagaimana menjaga dirinya, dan melatih kontrol diri dengan cara yang tepat. Tanpa pendampingan orang tua, anak selalu memiliki rasa penasaran dan akses informasi pun bisa didapatkannya dengan mudah.

Oleh karena itu di sinilah peran kita sebagai orang tua, jangan sampai kemudahan anak-anak mengakses berbagai informasi dalam hitungan detik dengan jari-jari mereka justru menjadi bumerang untuk dirinya sendiri dan juga untuk kita sebagai orang tuanya.

Membuat diri kita dan anak nyaman ketika membicarakan itu adalah langkah pertama untuk bisa terbuka membicarakannya. Selama kita masih merasa tabu tentang ini, kita kehilangan kesempatan untuk menjaga anak kita, karena anak semakin enggan dan semakin tinggi tembok pembatas yang dibangun antara anak dan orang tua.

Hal ini terutama berlaku bagi anak-anak usia remaja yang mengalami fase perubahan besar, yaitu pubertas dan ledakan seksual, begitu Sigmund Freud, bapak psikoanalis menyebutnya dalam teori perkembangan psikoseksual anak.

Apa Saja yang Perlu Diketahui Anak?

Memberikan edukasi seksual pada anak tidak melulu tentang organ reproduksi, menjaga kebersihan, dan kesehatan seksual saja. Namun juga perlu melibatkan konsep diri anak dan bagaimana peran gender baik anak laki-laki maupun anak perempuan sehingga dapat merasa nyaman dengan dirinya, dengan tubuhnya, dan belajar membangun relasi yang sehat sebagai bekal di masa dewasanya.

Oleh karena itu sebagai orang tua kita juga memiliki peran untuk melindungi anak dari rasa malu untuk membicarakan hal yang berkaitan dengan isu seksual, pornografi, pelecehan dan kekerasan seksual.

Dr. Laura Markham pakar parenting mengemukakan, jika orang tua atau keluarga yang menganggap pembicaraan tentang seksual adalah tabu, besar kemungkinan anak akan tumbuh dengan penghayatan bahwa seks adalah memalukan. Oleh karena itu, sebagai orang tua kita perlu tahu tahapan untuk memberikan edukasi seksual kepada anak sesuai usia perkembangannya.

  • Usia 0-2 tahun: penyebutan alat kelamin yang benar secara biologis, izin setiap kali membersihkan alat kelamin seperti: “permisi”, ganti baju di tempat tertutup.
  • 2-4 tahun: penyebutan organ tubuh sesuai nama biologis, dari mana asal anak? “ibu memiliki rahim, di situ kamu hidup sampai cukup usia untuk lahir”, toilet training dimulai, ajarkan anak merawat dan membersihkan alat kelamin dengan benar dan bersih
  • 4-6 tahun: mulai naksir lawan jenis dan jangan larang anak bermain bersama, jawab pertanyaan anak tentang bagaimana bayi lahir? Bagaimana bayi terbentuk di link ini contohnya.
  • 6-8 tahun: perawatan tubuh dan menjaga kebersihan, persiapan pubertas, membahas perubahan tubuh sebelum pubertas, bulu rambut tumbuh, ganti gigi, suara berubah, dan lain-lain.
  • 8-11 tahun: persiapan pubertas: tanda-tanda pubertas pada anak laki-laki dan perempuan, apa saja yang akan terjadi di masa pubertas, perubahan fisik, emosi, perilaku, motivasi belajar, peer pressure, naksir lawan jenis, aktivitas yang sebaiknya ditekuni anak, siapkan mental untuk menjawab berbagai pertanyaan anak dan cara mengajarkan merawat kebersihan diri, dan lain-lain.

Begitulah setidaknya seputar edukasi seksual pada anak yang bisa kita persiapkan dari sekarang. Semoga artikel ini bermanfaat ya!

 

Referensi: 

Samanta Elsener, M.Psi, Psikolog

Leave a Comment

error

Enjoy this blog? Please spread the word :)