Aku nggamau cepat besar Buk, maunya sama Ibuk terus..
Anak tunggal saya merengek sambil berkata demikian. Saya yang sehari-hari selalu bersamanya jadi ikut mewek. Jujur saja, di usianya saya justru malah ingin cepat besar, ingin segera meninggalkan rumah dan hidup bersama pangeran impian yang saya lihat di film-film Disney wkwkwk.
Makanya saya kaget dan terharu ketika ternyata anak saya yang masih berusia 5 tahun ini justru berkebalikan dengan apa yang saya rasakan dulu.
Emangnya kenapa kak gak mau cepat besar?
Ternyata alasannya adalah ketakutan berpisah dengan saya sebagai Ibunya yang sehari-hari, 24 jam bersamanya. Melakukan hal bersama-sama, nangis bareng, marah, bertengkar, lalu berbaikan dengan cepat. Kedekatan yang mungkin sudah saya lupakan saat bersama Ibu saya saat dulu masih anak-anak.
Tak heran jika dikatakan bahwa gen Z adalah generasi yang penuh empati. Bersamaan dengan sikap mereka yang umumnya reaktif, empati pun juga muncul dari mereka. Tak sedikit empatinya berbuah baik. Banyak orang terbantu dari kekompakan dan kesetiawanan di antara mereka. Hanya digerakkan melalui media sosial yang terbatas oleh ruang, tapi ternyata hasilnya begitu menggembirakan lho!
Zaman saya dulu sekolah, jelas anak-anak seumuran kami tidak punya kekuatan untuk “membantu” seseorang jika tidak melalui bantuan orang-orang berpengaruh atau orangtua yang punya privilege.
Namun sekarang, teknologi membuat anak-anak generasi Z memiliki pengaruh yang cukup besar untuk menolong orang lain melalui gawai mereka masing-masing. Mengagumkan bukan?
Belajar Menjadi Orangtua Gen Z, Si Serba Bisa
Sebagai orangtua mungkin kita memiliki gagasan sendiri tentang masalah yang dihadapi setiap anak. Tetapi tentu saja kita juga harus mencoba untuk tidak terlalu bergantung pada pengalaman kita sendiri ketika dididik oleh ibu dan ayah di zamannya.
Gen Z tidak menikmati anekdot kuno, seperti ngga ilok kalau kata orang Jawa. Namun mereka menginginkan jawaban yang berarti bagi realitas mereka sendiri dan itu berarti menerima bahwa rintangan generasi Z tidak mencerminkan kita sebagai orangtua.
Pada sebuah buku berjudul Parenting 4.0, saya menyadari bahwa anak kita saat ini memang hidup di dunia yang serba instant, dituntut cepat dan tepat.
Jadi pendidikan konservatif yang masih saya dapati dahulu tentu saja akan sangat membosankan bagi mereka yang sudah terbiasa mendapatkan informasi dengan cepat melalui ponsel pintar masing-masing. Mereka sudah tahu banyak soal teorinya.
Terlepas dari kenyataan bahwa anak-anak selalu membuat orangtua saat ini susah tidur dan menambah uban karena stres, gen Z tidak tumbuh secepat anak-anak tahun 1980-an dan 90-an. Parenting 4.0 memberikan fakta, teori, data serta realita yang kita hadapi sebagai orangtua saat ini. Saya jadi tahu bagaimana karakter Gen Z dan memaklumi mereka, gimana ngga? Karena sehari-hari saya bersinggungan dengan mereka.
Harapan saya tidak muluk-muluk sebenarnya, Isya bisa menjadi anak shalihah dan bahagia selalu. Itu saja. Namun tak mudah kan membuat anak menjadi shalihah, baik dan bahagia menurut versinya.
Setidaknya ada empat hal yang saya dapatkan ketika bersinggungan dengan anak-anak yang lahir di generasi 4.0 ini :
1. Generasi Z Mengajarkan Pada Saya Bahwa Setiap Anak Layak Mendapat Bimbingan
Generasi Z mungkin berperilaku dengan cara berbeda, namun mereka mempertahankan kebutuhan manusia yang sama dengan yang kita semua lakukan di usia mereka. Persyaratan besar bagi mereka adalah memiliki kesempatan untuk mengeksplorasi minat mereka, terutama yang dapat mengarah ke jalur karir yang diinginkan.
2. Generasi Z Mampu Mengambil Lebih Banyak Tanggung Jawab
Meskipun Gen Z tidak begitu akrab seperti kakak-kakak millenialnya, dalam buku Parenting 4.0 ini disebutkan bahwa mereka menjalani kehidupan yang agak terlindung. Orangtua, yang dipenuhi rasa khawatir bahwa dunia itu berbahaya, telah menanamkan pada anak-anak mereka keinginan untuk bermain dengan aman. Tentu saja, ini positif ketika mempertimbangkan bahwa generasi Z mampu mengatakan TIDAK pada narkoba, tetapi di sisi lain, orangtua menghilangkan tanggung jawab orang dewasa dari dunia anak.
Parenting 4.0 ini memberikan solusinya bahwa semestinya kita memperkenalkan tugas baru secara sistematis kepada anak-anak praremaja dan remaja. Seperti meminta mereka untuk menelepon layanan pesan antar dari satu restoran, daripada menggunakan aplikasi pesan makanan online. Selain itu, bisa juga dengan menegosiasikan kesepakatan tentang barang yang ingin dibeli. Tugas-tugasnya mungkin tidak tampak seperti mengubah dunia, tetapi memiliki efek kumulatif pada kemampuan anak untuk mengembangkan lifeskill nya serta bagaimana menggunakan akal sehatnya.
3. Tidak Ada Gunanya Memblokade Akses Anak ke Teknologi
Kadang karena terlalu khawatir sebagai orangtua, kita jadi sering melarang apapun ada di gawai mereka. Orangtua menghapus semua teknologi ketika si anak tidak terlibat dalam percakapan sederhana. Hal ini secara tersirat benar saja, tetapi sungguh tidak realistis dan juga tidak bermanfaat.
Studi menunjukkan bahwa akses teknologi selama satu atau dua jam sehari, termasuk game, tidak akan merusak pikiran anak-anak. Namun jika lebih dari itu, barulah menjadi masalah.
Daripada mengancam Gen Z agar tidak menggunakan ponsel, berikan mereka kegiatan yang membutuhkan perhatian penuh, seperti olahraga misalnya.
Gagasan ini tidak menyangkal keberadaan teknologi, tetapi bisa mengajarkan anak-anak untuk menggunakannya dengan cara yang benar. Mereka juga akan belajar bagaimana memanfaatkan waktu sehingga tidak melulu terikat pada gadget.
4. Gen Z Juga Berhak Merasakan Kegagalan untuk Memahami Kesuksesan
Semua orangtua pasti ingin melindungi anak-anaknya dari kesulitan, kegagalan. Namun perlu kita tahu bahwa kegagalan adalah pelajaran yang berharga. Ibu dan Ayah Millenial cenderung memainkan peran sebagai “orangtua helikopter” (bagaimana orangtua helikopter silakan baca bukunya ya), memback-up putra dan putri mereka dari tekanan sosial dan emosional.
Padahal hal ini merugikan anak-anak mereka. Anak-anak generasi Z memang harus pernah belajar gagal secara benar.
Anak-anak generasi Z ini bersifat pragmatis dan praktis. Mereka memahami konsep menang dan kalah. Pada saat yang sama, mereka mungkin masih terlalu mengandalkan orangtua untuk menyelamatkan mereka ketika melakukan kesalahan.
Kita sebagai orangtua mungkin tidak suka melihat anak mengalami kegagalan, tapi belajar untuk bangkit sendiri dapat membuat mereka lebih tangguh 🙂
Saya teringat dengan nasihat dari Imam besar, Imam Syafi’i :
Jika kamu tidak tahan lelahnya belajar, maka kamu harus siap dengan perihnya kebodohan.
Bahwa setiap proses menuju kesuksesan tentu ada harga yang harus dibayar. Lelah, sakit, gagal, itu adalah hal biasa yang harus kita hadapi ketika hidup di dunia. Jika kita ingin sukses maka pilihannya adalah bangkit dan bertahan, agar kelak kita tidak sampai merasakan bagaimana perihnya kebodohan karena tidak mau belajar dan mencoba.
Sederhana dan punya esensi yang sama dengan tarbiyah di zaman Rasulullah, namun tentu saja caranya berbeda. Yang jelas, anak-anak sekali-kali juga harus merasakan lelah, sakit dan juga gagal untuk memahami sebuah kesuksesan.
Ada banyak lagi mungkin yang bisa kita pelajari bersama ketika bersinggungan dengan gen Z, boleh dong teman-teman sharing di kolom komentar 🙂
Semoga artikel ini bermanfaat yaa!