Berbicara soal bahaya self diagnose, saya jadi teringat beberapa teman online yang pernah mengunggah konten tentang dirinya yang sedang “depresi”. Mungkin benar seseorang sedang depresi kemudian ia mengunggahnya sebagai bentuk edukasi pada follower mereka bahwa “ini lho kesehatan mental itu penting banget untuk kita perhatikan, jangan dibiarkan.”
Yes, saya menangkap itu sebagai salah satu bentuk edukasi ya, dan mudah-mudahan mereka yang sedang tidak baik-baik saja segera mendapati kebahagiaan dirinya seperti sedia kala.
Namun ada banyak juga generasi kita yang hidup bersama internet, apalagi di era Internet of Things saat ini (segala informasi dapat dengan mudah kita baca dan lihat di internet), akhirnya membuat mereka ini melakukan self diagnosis yang sebenarnya tidak baik untuk dilakukan. Kenapa tidak baik? Kenapa berbahaya? Kita bahas selengkapnya di sini berdasarkan rujukan saya pada salah satu acara Instagram Live bersama dr. Jiemi Ardian Sp.KJ dan Analisa Widyaningrum, M.PSi Psikolog.
Salah Kaprah tentang Kondisi Kejiwaan (Self-diagnosis mental illness)
Bersama dr.Jiemi Ardian dan Psikolog Analisa Widyaningrum dijelaskan bahwa banyak sekali saat ini sebagian dari kita yang salah kaprah tentang kondisi kejiwaan. Tentu semua itu tidak terlepas dari Internet of Things : Sedih dikit “aku kayaknya depresi deh mbak”, “aku kayaknya sakit deh mba”, dan lain sebagainya. Hal inilah yang menjadi salah satu penyebab self diagnosis.
Adanya tsunami informasi tersebut akhirnya orang sulit membedakan antara saya sedih dan saya depresi. Lalu datang-datang mengatakan : “dok saya depresi.”
Seakan-akan feeling depresi adalah sama dengan depresi itu sendiri. Padahal itu dua hal yang berbeda.
dr.Jiemi mengatakan bahwa depresi ini bukan perasaan, tapi diagnosis yang sejajar dengan diagnosis hipertensi, asam urat, dan penyakit lainnya. Walaupun ini adalah masalah kejiwaan yang pastinya juga melibatkan perasaan, namun agak sulit kalau kita ngaku-ngaku sendiri bahwa sedang depresi atau sakit mental lainnya tanpa adanya penegakan diagnosis yang benar dari ahlinya.
Kalau dibandingkan, misalnya saja antara depresi dan berduka, depresi dan perasaan sedih biasa, itu akan sulit dibandingkan jika kita hanya merujuk pada text book atau artikel misalnya. Itulah pentingnya ke psikolog atau ke psikiater untuk menegaskan bahwa apa yang kita alami adalah depresi atau sakit mental lainnya.
Karena banyak sekali tipe depresi. Kalau secara umum dan sering terjadi yang pernah dihadapi oleh dr.Jiemi misalnya :
Emosi kita down, bisa saja bukan sedih, tapi kita juga kesulitan merasakan “joy” atau kebahagiaan itu sendiri. Nangis di pojokan kamar misalnya, ya itu juga salah satu indikasinya tapi tidak semua seperti itu. Selain ketika moodnya berubah, banyak keluhan juga yang mengatakan bahwa sulit untuk berkonsentrasi.
Tidak sedih, energi berkurang, tidak bisa merasakan kesenangan, menikmati kesenangan yang dulunya didapat dari hobi, tapi dia tidak sedih juga sebenarnya. Produktivitas menurun, biasanya bisa menghandle banyak pekerjaan, namun ketika depresi dia tidak bisa menyelesaikan pekerjaan seperti biasanya.
Ketika ditanya, “kapan merasakan kebahagiaan?”, dia akan kebingungan menjawab.
Batasannya seperti apa? Kapan kita harus segera pergi ke psikolog atau psikiater?
Menurut dr.Jiemi, dari pedoman diagnosis gangguan jiwa, ada batas waktunya. Kalau dalam 2 minggu terus menerus (pada sebagian besar waktunya) emosinya seperti itu (tidak bisa merasakan kebahagiaan misalnya), baru kita boleh merasa curiga dan bolehlah konsultasi dengan psikolog atau psikiater.
Perbedaan Psikolog dan Psikiater
Latar belakang Psikiater ini adalah dokter yang kemudian mengambil spesialisasi kejiwaan. Sudut pandangnya adalah sudut pandang dokter walaupun mereka belajar juga soal psikologi.
Adapun Psikolog, mereka lebih konsen di bidang kejiwaan manusia, meskipun sedikit banyak juga belajar soal fungsi organ pada tubuh manusia. Nah, adapun gangguan kejiwaan sendiri, ada dua jenis.
Yang satu sifatnya sampai merusak saraf (maka ini ranahnya psikiater, walaupun dalam farmakoterapi fungsinya juga akan lebih optimal jika diiringi dengan konsultasi). Lalu yang kedua adalah gangguan kejiwaan yang tidak sampai merusak saraf, sehingga cukup ditangani dengan konseling bersama Psikolog.
Jadi kalau teman-teman masih dalam taraf yang bisa ditangani dengan “berkonsultasi” dengan profesional, datang saja ke psikolog. Jika kondisi tidak kunjung membaik dan ada diagnosis yang ditegakkan oleh psikolog agar dirujuk ke psikiater, barulah kita beranjak menuju “pengobatan fisik” dan mental.
Karena pada dasarnya Psikolog dan Psikiater adalah sinergitas yang tidak bisa dipisahkan ketika menangani sebuah gangguan mental.
Bahaya Self Diagnosis
Berikut adalah bahaya self diagnosis yang diungkapkan oleh dr.Jiemi, entah itu self diagnosis kesehatan mental maupun fisik, semuanya sama berbahayanya ya teman-teman. Karena :
- Self diagnose adalah kesia-siaan belaka. Karena sebenarnya self diagnose itu untuk menentukan proses treatment untuk kesembuhan. Jadi kalau dilakukan sendiri, tidak ada treatmentnya. Sia-sia kan?
- Melebih-lebihkan keadaan : yang harusnya tidak seperti itu namun akhirnya kita menderita karena skenario yang kita ciptakan sendiri.
- Mengecilkan keadaan yang sebenarnya sudah berat baik secara mental maupun fisik.
- Menyakiti hati orang yang mungkin sedang mengalami hal tersebut atau yang sedang menjalani treatment di sana. eh aku pernah juga kok mengalami hal itu. Ini akan menyakiti mereka lho, serius.
Jadi sebelum mengklaim diri sendiri “sedang depresi” atau apapun itu, ada baiknya kita bermuhasabah diri. Memperbaiki hubungan dengan Tuhan dan juga manusia. Ketika itu semua sudah bisa menangani kita yang sedang merasakan “sakit”, dan sedikitnya dalam kurun waktu yang sudah disarankan oleh dr.Jiemi tersebut di atas kita merasa lebih baik, maka tak perlu ke psikolog atau ke psikiater.
Namun jika itu semua tidak membantu atau setidaknya mengurangi rasa “sakit” kita, bolehlah segera berkonsultasi dengan ahlinya. Yakni psikolog dan psikiater. Jangan sampai kita mendiagnosa diri sendiri dan akhirnya tidak menemukan solusinya. Bisa jadi makin parah kan? Karena treatment yang tidak benar, misalnya.
Yuk aware dengan bahaya self diagnosis dan segera ke ahlinya untuk jadi pribadi yang lebih sehat dan bahagia.
Artikel ini dikurasi oleh : Mardliyatus Sa’diyah S.PSi
Penting banget kita mengetahui kapan harus datang kepada profesional, spy tdk hanya sekedar “aware”.
Terimakasih tulisan yg sdh mewakili suara hati saya kak jihan..