Kisah Ummu Ayyub Al Anshariyyah, Penyambut Hijrah – Seri Perempuan Peradaban

Kisah ini erat kaitannya dengan peristiwa hijrahnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. 

Jadi saat Rasulullah hijrah ke Madinah, para sahabat terutama Anshar, mereka berebut untuk menjadi khadim/khadimat atau orang-orang yang melayani Rasulullah di rumah mereka sembari menunggu rumah Rasulullah selesai dibangun. Hingga akhirnya Rasulullah singgah di rumah Abu Ayyub Al Anshariy dan istrinya.

Saat di Yatsrib, Rasulullah tinggal selama 4 hari di Kuba sembari membangun masjid Kuba yang penuh kebaikan. Hingga dikatakan oleh Rasulullah siapa saja yang berwudhu dan salat di masjid Kuba maka nilai kebaikannya sama dengan umroh di Baitullah.

Setelah selesai urusan di Kuba, Rasulullah menuju kota Madinah, ke jantung kota Madinah yang sangat mendambakan kehadiran Rasulullah kala itu. Mereka bersenandung dan bersalawat untuk menyambut kedatangan Rasulullah.

Bahkan ada banyak orang-orang Anshar yang berebut untuk menarik tali kekang unta milik Rasulullah agar Rasulullah berkenan untuk mampir dan tinggal di rumah mereka. Namun Rasulullah bersabda:

“Biarkan, biarkan Al Qoswa (unta milik Rasulullah) terbimbing. Maksudnya memilih sendiri, berhenti di manakah ia dengan bimbingan malaikat.”

Menariknya, Abu Ayyub Al Anshariy ini tidak seperti orang-orang Anshar pada umumnya yang berebut perhatian Rasulullah. Justru Abu Ayyub tidak berebut untuk itu, namun Abu Ayyub sigap membawakan barang-barang Rasulullah. Saat itu Abu Ayyub juga tidak ada sifat ketamakan sedikit pun dalam hatinya untuk membawa Rasulullah ke rumahnya.

Abu Ayyub berkata : “Kemana Rasulullah akan pergi? Saya bawakan barang-barang ini..”

Kemudian dijawablah oleh Rasulullah : “Orang itu ya ikut kemana barangnya dibawa.” 

Begitu mendengar hal tersebut, Abu Ayyub langsung membawa barang-barang Rasulullah menuju rumahnya.

Pelajaran dari sikap Abu Ayyub ini adalah ketika datang orang-orang shaleh, ulama, wali-wali Allah, maka jangan fokus pada keegoisan kita. Namun fokuslah pada khidmah, pada adab kita kepadanya seperti yang dilakukan oleh Abu Ayyub, yang mana dengan itu justru ia mendapatkan keberkahan. 

Rasulullah Singgah di Rumah Abu Ayyub

Saat itu rumah Abu Ayyub ada dua tingkat, dan Abu Ayyub mengatakan pada Rasulullah :

“Wahai Rasulullah, tidak mungkin kami berada di atas Engkau. Maka sebaiknya Rasulullah di lantai dua.”

Namun Rasulullah bersabda :

“Wahai Abu Ayyub, tamuku sangat banyak, orang-orang pasti akan kemari dan ingin menemuiku. Jika tidak keberatan, aku di lantai satu saja, agar tidak menyulitkan kita semua.”

Akhirnya Abu Ayyub tinggal di lantai dua dan Rasulullah berada di lantai satu.

Setiap malam, Ummu Ayyub tidak bisa tidur. Ketika ditanya oleh suaminya kenapa dia tidak bisa tidur?

“Bagaimana aku bisa tidur sementara ada Rasulullah di bawah kita.”

Hatinya tidak nyaman karena Rasulullah tidur di lantai bawah sementara mereka di lantai atas. Pada suatu hari kejadian di musim dingin, bejana air mereka pecah dan menggenangi lantai atas rumah mereka yang terbuat dari kayu. Dengan cekatan Ummu Ayyub mengambil selimut-selimut mereka untuk menyerap semua air yang tumpah agar tidak sampai menetes ke bawah dan mengenai Rasulullah.

Akhirnya selimut mereka basah kuyup, dan mereka berdua tidur dalam keadaan kedinginan karena tidak ada lagi selimut.

kisah ummu ayyub al anshariyyah

Setelah mendengar peristiwa itu, Rasulullah bertekad untuk berada di lantai dua saja sedangkan empunya rumah di lantai satu. Beberapa kali mereka meyakinkan Rasulullah, jika ada tamu datang mereka akan menyiapkan segalanya di bawah lalu memberi kabar pada Rasulullah jika sudah siap menemui tamu-tamunya.

Sehingga ketika tamu-tamu datang untuk menemui Rasulullah, Abu dan Ummu Ayyub ini sebenarnya double repot, selain menyiapkan jamuan, juga bertugas untuk memanggil Rasulullah ketika ada tamu. Namun mereka tak mengeluh sedikit pun, bahkan bahagia. Karena bisa melayani Rasulullah dan dengan begini, menjadikan Rasulullah lebih punya privasi dibandingkan ketika Rasulullah berada di lantai satu. Bisa lebih banyak beristirahat dan tidak setiap saat menerima tamu.

Abu Ayyub dan Ummu Ayyub lah yang melakukan filterisasi kapan tamu-tamu tersebut bisa menemui Rasulullah. Itulah di antara bentuk khidmat Abu Ayyub dan Ummu Ayyub pada Rasulullah selama di Madinah.

Sampai ketika rumah Rasulullah yang berada di dekat masjid Nabawi selesai dibangun, kemudian Rasulullah mulai tinggal di rumah istri-istrinya, Abu dan Ummu Ayyub berkata bahwa seperti ada yang hilang dalam hidup mereka.

Rumah yang semula bercahaya karena ada Rasulullah, kemudian cahaya itu hilang karena Rasulullah tidak lagi tinggal di sana.

Karena itulah Abu Ayyub dan Ummu Ayyub ini termasuk sahabat yang paling sering mengunjungi Rasulullah untuk mengharapkan keberkahan dari beliau. Sebagaimana ketika Rasulullah tinggal di rumah mereka, menyiapkan makanan Rasululah, menyiapkan kebutuhan Rasulullah, mereka tetap ingin seperti itu.

Bahkan ketika ada sisa dari makanan Rasulullah, suami istri ini selalu berebut untuk mendapatkan sisa makanan dari Rasululah, semata untuk mengharap keberkahan.

Kesetiaan Abu Ayyub dan Ummu Ayyub pada Rasulullah dan Keluarganya

Ummu Ayyub akhirnya sering membawakan makanan pada Rasulullah dengan ditemani oleh Ummu Sulaym. Tidak hanya itu, Ummu Ayyub juga membawakan banyak keperluan untuk istri-istri Nabi, seperti cermin, alat rias, dan banyak lagi.

Ketika terjadi Haditsul Ifki, yaitu berita dusta yang menimpa ibunda kita, Aisyah Radhiallahu anha, Allah dalam surat an-Nur memuji dua golongan sahabat.

Golongan pertama adalah sahabat yang mengatakan “Subhanallah hadza buhtanul adzim, ini adalah dusta yang sangat besar,” hal ini salah satunya disampaikan oleh Sayyidina Umar bin Khattab.

Lalu golongan kedua adalah yang berprasangka pada diri mereka sendiri dengan prasangka yang baik. Termasuk yang demikian adalah Abu Ayyub dan Ummu Ayyub Al Anshariyyah.

Ketika itu Abu Ayyub bertanya pada istrinya : Wahai Ummu Ayyub, sekiranya engkau menjadi Aisyah radhiallahu anha, apakah peristiwa semacam itu akan terjadi?

Ummu Ayyub menjawab : “Wahai suamiku, demi Allah sejelek-jeleknya aku, bagiku perzinahan adalah perkara yang sangat menjijikkan dan menjadi perkara yang tak pernah terbayangkan dalam hatiku untuk melakukannya.”

Lalu Abu Ayyub mengatakan : Kalau kau saja tidak mungkin melakukan itu, maka begitu juga dengan ibunda Aisyah, beliau tidak akan pernah pula melakukannya. Karena Ibunda Aisyah lebih baik dari engkau.”

Ummu Ayyub juga bertanya pada suaminya, “Wahai suamiku seandainya engkau adalah Shofwan bin Muatthol, apakah akan terjadi peristiwa itu?”

Lalu dijawab oleh Abu Ayyub: “Demi Allah seburuk-buruknya aku, tidak pernah terbayangkan dalam benakku untuk mengkhianati beliau dan menyakiti keluarga beliau.”

Maka kemudian Ummu Ayyub mengatakan : “Kalau kau saja tidak mungkin, maka Shofwan pun tidak akan mungkin melakukannya. Karena Shofwan lebih baik darimu.”

Inilah yang dimaksud oleh Allah, kalau kita berparasangka baik pada diri sendiri, maka itu akan menuntun kita untuk berprasangka baik pada orang lain.

Keduanya dikaruniai usia yang panjang oleh Allah, bahkan di masa upaya pembebasan Konstantinopel beliau masih ikut berjihad. Oleh karena itu makam beliau pun akhirnya ada di Turki, saat pembebasan Konstantinopel. Beliau dengan tongkatnya, terpincang-pincang berangkat, tubuhnya bungkuk tapi tetap ikut berangkat untuk berjihad.

Meskipun anak dan cucunya ingin menggantikannya, beliau bersikeras untuk tetap ikut berjihad dengan jiwa dan harta pada Allah. Semua udzur menurutnya sudah dihapus ketika ayat jihad itu turun.

Begitu luar biasanya perjuangan dan kesetiaan serta pelayanan yang diberikan Abu Ayyub dan Ummu Ayyub pada Rasulullah dan keluarganya.

Semoga artikel ini bermanfaat, barakallahufiyk.

Baca juga seri Perempuan Peradaban lainnya di sini ya!

 

 

 

Leave a Comment

error

Enjoy this blog? Please spread the word :)