Perempuan Peradaban : Lubna, Matematikawan Zaman Keemasan

Kisah Perempuan Peradaban kali ini akan membahas tentang seorang Matematikawan di zaman keemasan yang berada di Cordoba, yaitu Lubna.

Masih disampaikan oleh Ustadz Salim A Fillah dalam rangkaian Kisah Perempuan Peradaban yang terdiri dari 29 episode/kisah yang berperan besar dalam membentuk peradaban di dunia dalam berbagai bidang. Tidak hanya mengajak manusia untuk selamat di akhirat tapi juga maju di dunia.

Perempuan Peradaban

Islamic Golden Age dan Lahirnya Lubna

Pada masa abad pertengahan, yang disebut sebagai Islamic Golden Age muncul berbagai ilmuwan di berbagai bidang. Mulai dari astronomi hingga kedokteran seperti Ibnu Sina, Ar Razi, hingga Al Khawarijmi. Namun ada juga ilmuwan perempuan yang tidak terlupakan perannya dalam sejarah.

Salah satu yang menonjol adalah ilmuwan perempuan yang bernama Lubna Al Qurtubiyah atau Lubna dari Qordoba. Lubna hidup di masa dua khalifah yang paling menonjol.

Jadi, dahulunya penguasa-penguasa Cordoba di Andalusia ini sejak Abdurrahman Ad-Dakhil atau Abdurrahman I itu tidak menyebut diri sebagai khalifah sebab ada beberapa kubu yang masih menganggap bahwa yang berhak menyandang nama Khalifah adalah yang melayani Makkah dan Madinah yang saat itu dibangun oleh Daulah Abbasiyah.

Nah, karena Cordoba ini jauh dari Makkah dan Madinah maka mereka tidak mengambil gelar khalifah. Namun begitu ada seorang Syiah yang mengambil gelar khalifah saat itu, yakni dari Daulah Fathimiyah di Mesir maka para penguasa Cordoba ini akhirnya mengambil gelar khalifah (juga demi gengsi umat Islam di dunia barat yang saat itu mengalami dark age).

Adapun khalifah pertama di Andalusia adalah Abdurrahman III, dan Abdurrahman III ini terkenal sekali sebagai pembangun kota yang disebut Madinatuz Zahrah.

Madinatus Zahrah sendiri dalam buku Islam in Andalusia karya Ahmad Thompson disebutkan sebagai sebuah istana dengan tujuh tingkat, dan setiap tingkatan menggambarkan keindahan surga di dunia. Bahkan disebutkan untuk menempuh perjalanan dari bawah sampai ke tingkat pertama saja membutuhkan jarak tempuh 12 kilometer.

Gambaran Megahnya Pemerintahan Abdurrahman III

perempuan peradaban

Pernah diceritakan bahwa saat itu ada utusan dari Kekaisaran Romawi Suci datang ke Cordoba, kemudian dia dibawa ke Madinatus Zahra, dan sepanjang 12 kilometer itu dia harus melewati pasukan yang berbaris dan menyilangkan pedang. Jadi mereka berjalan di bawah pedang-pedang itu sejauh 12 kilometer.

Jadi kita bisa membayangkan bahwa hal tersebut sudah menjadi teror psikologis yang luar biasa bagi seorang duta besar kekaisaran Romawi Suci yang datang saat itu.

Begitu sampai di istana tingkat pertama, maka di situ ia melihat istana yang lantainya ini dihiasi taman dengan pohon-pohon buatan yang batangnya dilapisi oleh perak dan ditempeli daun-daun emas. Lalu tiap pagi dan petang, buahnya diganti (buahnya digantungkan dengan sengaja). Buahnya pun bermacam-macam sesuai musim. Ada buah mangga, jeruk, dan lain sebagainya.

Lalu di istana lapis pertama ini ada pengawal-pengawal yang berjajar, juga ada menteri yang hilir mudik menyelesaikan berbagai urusan, kemudian juga ada orang yang duduk di balik meja kerja seperti singgasana yang penuh dengan dokumen-dokumen. Duta besar Kekaisaran Romawi Suci mengira orang itu adalah khalifah.

Begitu duta besar sampai di depan meja dengan singgasana yang besar itu, sang duta besar bersujud dan memberi salam.

“Yang Mulia Khalifah saya adalah utusan Kekaisaran Romawi Suci.”

Lalu orang yang ada di balik meja tersebut turun dan mengangkat sang duta besar untuk segera bangun dari sujudnya sambil berkata :

“Bangunlah tuanku, saya hanyalah pelayan dari pelayan, dari pelayan, dari pelayan, dan pelayan dari pelayannya Khalifah. Silahkan lanjutkan perjalanan Anda ke istana berikutnya.”

Lalu naiklah sang Duta Besar ke tingkat kedua, dan di sana ia melihat tanah yang dicampur dengan minyak misk sebagaimana yang digambarkan oleh orang-orang ketika menggambarkan surga.

Selain itu ia juga melihat aliran air seperti sungai kecil, yang di dalamnya mengalirkan air madu, air susu, khamr, dan banyak lainnya. Intinya seperti gambaran surga di akhirat.

Di tingkat dua juga ia melihat orang yang dikelilingi oleh berbagai staf, sampai akhirnya ia bersujud lagi :

“Tuanku saya adalah utusan dari Kekaisaran Romawi Suci menghadap khalifah. Bangun tuanku, anda baru ketemu dengan pelayan, dari pelayan, dari pelayan, dari pelayan yang khalifah.”

Hingga akhirnya sampai ke istana tingkat tujuh. Lalu ia masuk ke dalam satu ruangan yang dikelilingi oleh air raksa yang diputar. Sehingga ketika keluar dari situ, hampir-hampir ia kehilangan arah. Tidak tahu mana barat, timur, selatan, utara. Lalu dalam kebingungannya itu ada seseorang yang berpakaian paling mewah dari semua yang pernah ditemuinya. Kemudian ia bersujud karena mengira itu adalah khalifah.

Namun ternyata lagi-lagi ia salah, karena ia hanyalah Perdana Menteri.

“Saya adalah pelayannya khalifah.”

Namun ternyata setelah istana ketujuh ini yang berikutnya adalah gubuk. Sebuah gubuk sederhana seperti tenda. Lalu di dalam gubuk tersebut ia bertemu dengan seseorang yang pakaiannya punya 17 tambalan dengan sorban yang sudah lusuh dan orang ini matanya bercelak, memegang mushaf di tangan kanan.

Lalu sang duta besar pun diberitahu :

“Tuanku inilah khalifah Abdurrahman III, pelindung kaum Muslimin.” 

Lalu sang duta besar pun ketakutan,

“Saya menyerah dengan kepada khalifah kaum Muslimin. Kami sebagai khalifah utusan Kaisar Romawi Suci menyatakan, apa yang harus kami lakukan agar mendapatkan perlindungan dari khalifah kaum Muslimin.” 

“Kami menawarkan pada Anda ini, sebuah mushaf AlQuran. Kalau anda menolak, maka kami akan memerangi anda dengan pedang ini. Lalu kalau Anda mati, maka Anda akan dibakar di dalam api seperti ini.”

Itulah yang menunjukkan betapa gemerlapnya Cordoba pada saat itu, gemerlap yang sangat luar biasa. Bahkan konsep Madinatus Zahra kala itu juga dibangun seperti surga saking gemerlapnya peradaban yang dibangun kala itu.

Inilah khlaifah Abdurrahman III yang luar biasa.

Selain itu ada catatan menarik dari buku Ahmad Thompson tersebut. Konon dalam penggalian arkeologi tahun 70-an kala itu ditemukan catatan harian dari Abdurrahman III yang isinya kurang lebih : khalifah yang luar biasa yang kekuasaannya begitu besar dan Negara-Negara Eropa semua takut kepadanya dan ia memimpin dengan kemegahan. Sepanjang beberapa dekade beliau memerintah, hari dimana ia menuliskan dirinya sedang berbahagia hanya 13 hari saja. 

Bayangkan, dari puluhan tahun bertahta, hanya 13 hari ia merasa sangat bahagia.

Artinya, kita harus mengambil pelajaran bahwa begitu mahalnya harga kebahagiaan sampai-sampai seorang khalifah yang begitu megah kekuasaannya, kemewahannya serta kekuasaannya itu hanya merasakan kebahagiaan beberapa hari saja selama puluhan tahun.

Hal ini juga menggambarkan bahwa beliau benar-benar memikirkan rakyatnya, sampai tak sempat mencari kebahagiaannya sendiri.

Dalam masa-masa keemasan inilah Lubna lahir. 

Lubna, Perempuan Peradaban Penyambung Keilmuan

Perempuan Peradaban

Kelahiran Lubna ini diceritakan oleh dua pendapat.

Pendapat pertama mengatakan bahwa Lubna adalah putri dari Sang Khalifah, Abdurrahman III dari salah seorang budak di hareemnya. Namun riwayat ini agak ditentang oleh sebagian yang lain karena putra putri Abdurrahman III ini semua tercatat dan tidak ada yang bernama Lubna.

Lalu kenapa sampai ada pendapat seperti itu? Karena Lubna ini nanti adalah pendamping khalifah berikutnya. Hal ini menandakan bahwa Lubna pasti tinggal di harem dan masuk ke dalam keturunan anak istana.

Oleh karena itu pendapat kedua mengatakan bahwa Lubna bukan anak khalifah namun mungkin salah satu anak dari pejabat yang ada di istana.

Hareem di sini maksudnya adalah tempat dimana diharamkan laki-laki untuk masuk kecuali khalifah. Mulai dari pelayan hingga petugasnya semua adalah perempuan. Di sinilah Lubna lahir dan mendapatkan pendidikan terbaik.

Lubna tidak hanya belajar dan menghafalkan AlQuran sebagai dasar, mengkaji ilmu fikih hingga Lubna disebut sebagai ahli fikih di mazhab Maliki. Namun ia juga belajar ilmu pengetahuan lain. Lubna sangat tertarik pada ilmu matematika, yang saat itu ia kenal melalui ilmu faroidh yang menggunakan aritmatika dan aljabar ketika mempelajarinya.

Lubna dari Cordoba ini pada mulanya ketika masih menjadi murid di dalam istana, ia juga bertugas sebagai penyalin naskah. Jadi dia menyalin berbagai naskah untuk diperbanyak. Selain itu beliau juga dipercaya untuk menerjemahkan berbagai naskah dari berbagai disiplin ilmu dari berbagai bahasa.

Karena Abdurrahman III sendiri juga berambisi untuk menyaingi Baitul Hikmah yang ada di Baghdad (putra Harun Ar-Rasyid sangat giat menerjemahkan kepustakaan dari Yunani, Persia, India, dan lain-lain). Lubna menjadi salah satu pelopor di Cordoba dalam aktivitas penyalinan naskah.

Lubna juga ditunjuk sebagai pemimpin untuk penyalinan naskah itu sendiri. Lalu pada masa Al Hakam II, Lubna menginisiasi untuk pengadministrasian naskah-naskah yang sudah disalin menjadi perpustakaan Madinatus Zahrah. Hingga akhirnya perpustakaan Madinatus Zahrah memiliki koleksi 400.000 buku dari berbagai macam bidang keilmuan yang bisa diakses oleh ulama dan cendekiawan.

Ada sebuah teori Malik bin Nabi yang menarik :

Kalau ilmu itu melayani iman, maka peradaban itu akan maju. Kalau ilmu itu hanya melayani sekadar ilmu, maka peradaban akan stagnan. Kalau ilmu melayani hawa nafsu maka peradaban akan mengalami kehancuran.

Pada dasarnya semua peradaban itu mengembangkan ilmu. Namun masalahnya adalah untuk apa ilmu itu digunakan?

Kita bisa membayangkan di zaman keemasan tersebut, Lubna seorang perempuan yang mendapatkan tempat istimewa di masa khalifah Al Hakam II untuk menjadi pemimpin para cendekiawan dan matematikawan di istana. Lubna ini juga menjadi perempuan pertama yang mempelopori sabatikal atau pengabdian keilmuan.

Lubna mengambil cuti khusus setiap bulan dari istana untuk mengajari di tengah masyarakat. Inilah yang kemudian menjadi konsep untuk ditiru oleh para guru besar dan profesor di berbagai kampus/perguruan tinggi untuk mengabdikan ilmu pada yang berhak.

Oleh karena itulah ilmu pengetahuan di Cordoba menjadi tersebar luas. Bahkan di jalan-jalan orang-orang sudah biasa berdiskusi tentang matematika, astronomi, fisika, pengukuran keliling bumi, jarak bintang, semua itu menjadi konsumsi yang sangat biasa di tengah masyarakat. Inilah sumbangsih besar Lubna dari Cordoba yang tidak terlupakan.

Sementara di dalam istana Lubna tetap berbaur dengan cendekiawan lain, melakukan riset, hingga menjadi konsultan untuk berbagai macam penelitian dan proyek pembangunan kekhalifahan. Kita tak bisa menafikan peran yang luar biasa ini bahwa Lubna memang perempuan yang memiliki peran besar dalam kemajuan ilmu pengetahuan di Cordoba saat itu.

Bahkan ia juga memicu lahirnya ilmuwan baru seperti Ibnu Firnas yang menguji mesin pesawat terbang, juga berbagai ulama yang menjadi pelopor di bidangnya.

Hikmah dari kisah Lubna ini adalah Islam sangat membuka lebar peluang perempuan untuk memiliki pendidikan tertinggi. Bahkan ketika ia bisa memaksimalkan potensinya dan memanfaatkan apa yang Allah berikan padanya bisa menyamai apa yang dicapai oleh lelaki bahkan melebihi mereka.

Semoga artikel ini bermanfaat dan menjadi inspirasi bagi kita semua. Baca juga kisah perempuan peradaban lainnya di sini yuk!

 

 

 

 

 

 

Leave a Comment

error

Enjoy this blog? Please spread the word :)